Home

Pemberian mahar

 Di nusantara ini, prosesi akad nikah kadang lebih kental dengan nuansa budaya dibanding agama. Kebanyakan orang lebih terikat dengan adat istiadat yang telah membudaya daripada dengan ajaran agama. Tentu saja, adat istiadat yang berkaitan dengan pernikahan diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan syariat Islam. Walaupun demikian, sejak awal Islam juga mengajarkan kesederhanaan dalam prosesi pernikahan sehingga semua rangkaian prosesi ini tidak menyulitkan atau membebani kedua mempelai. Sebab, dalam pandangan Islam, seluruh rangkaian prosesi tersebut tak lebih dari simbol belaka, sementara substansinya adalah ikatan dan komitmen mereka berdua.

Hal yang sama juga berlaku dengan mahar yang menjadi salah satu rukun akad nikah dalam Islam. Mahar adalah pemberian suka rela yang merupakan simbol dari ketulusan, kejujuran, dan komitmennya dalam menikahi seorang perempuan. 

Pemahaman mahar sebagai simbol cinta kasih ini juga penting karena ada sementara orang yang memahami mahar adalah alat tukar. Dengan demikian, ketika mahar sudah diberikan maka perempuan tersebut menjadi miliknya, dapat dikuasai dan harus mengikuti perintah dan kemauannya. Lebih jauh lagi, dengan pemahaman tersebut, makin besar mahar yang diberikan maka semakin tinggi rasa kepemilikan suami terhadap istrinya. Pemahaman seperti ini bukan hanya menyalahi alasan disyariatkannya mahar tapi juga berpotensi besar mengarah kepada kekerasan dalam rumah tangga dan berbagai efek negatif lain. 

Mengawali dengan khitbah

 Dalam Islam, prosesi pra-nikah dikenal dengan sebutan peminangan (khitbah) yang merupakan penyampaian kehendak seorang pria untuk menikahi seorang perempuan. Pada dasarnya semua perempuan yang bukan termasuk haram untuk dinikahi sah untuk dilamar. Pengecualian terdapat pada perempuan yang masih dalam masa iddah rujuk (raj’i) yang masih masuk dalam kategori haram untuk dilamar, baik melamar secara tegas maupun sindiran. Pelarangan tersebut dikarenakan perempuan tersebut masih terikat dengan suami yang menceraikannya dan dalam kondisi ini sang suami lebih berhak untuk rujuk (kembali) kepadanya dengan syarat mempunyai keinginan untuk perdamaian.

Biasanya proses peminangan melibatkan keluarga laki-laki dan keluarga perempuan. Dalam prosesi ini, diharapkan terjadinya pengenalan dan penyesuaian bagi kedua calon pengantin dan juga keluarga besar kedua belah pihak. Pada tahapan ini, kedua calon pengantin masuk dalam tahapan pra-nikah yang krusial dan akan sangat baik jika dipergunakan untuk mengenal perbedaan masingmasing dalam berbagai hal, mulai dari karakter, budaya, keluarga; termasuk visi tentang pernikahan dan keluarga yang hendak dibangun. Pengenalan yang lebih dalam terhadap sisi psikologi, karakter, keluarga, dan budaya calon pasangan hidup ini akan sangat berguna di masa yang akan datang; terutama meminimalisir konflik yang diakibatkan oleh perbedaan yang ada. 

Penting diperhatikan oleh kedua calon mempelai bahwa tahapan khitbah atau peminangan bukan akad pernikahan. Prosesi ini hanya merupakan pengikat pra-nikah dan karena itu hubungan pernikahan sama sekali belum terjadi. Dengan demikian, maka kedua calon pengantin tidak dihalalkan untuk melakukan hubungan suami istri hingga nanti akad nikah selesai dilaksanakan. Kalau pun ada adat yang membolehkan hubungan suami istri hanya karena telah melakukan lamaran, maka adat tersebut jelas bertentangan dengan syariat Islam dan tidak dibenarkan untuk diikuti. Karena jika diikuti, maka hubungan suami istri pada tahapan ini masuk dalam kategori perzinaan yang merupakan dosa besar dalam Islam.

Hal lain yang patut mendapatkan perhatian adalah perempuan yang telah dilamar dan menerima lamaran dari satu pria tidak diperkenankan untuk menerima lamaran dari pria lain. Pria lain juga tidak diperkenankan untuk mengajukan lamaran kepada perempuan yang sudah menerima lamaran dari pria lain sampai perempuan membatalkan lamaran dari pihak sebelumnya. Pembatalan khitbah atau lamaran dapat dilakukan dan bukan dimasukkan dalam kategori bercerai karena hubungan pernikahan belum terjadi. Akan tetapi hendaknya pembatalan tersebut, jika memang harus terjadi, dilakukan dengan tetap mengindahkan hubungan baik dan dilakukan dengan cara yang baik.


Menikah di usia dewasa

Dahulu, kedewasaan diukur dengan menstruasi bagi perempuan dan mimpi basah bagi laki-laki. Saat ini kita menyadari bahwa kedua kondisi tersebut hanya menunjukkan kematangan biologis untuk urusan reproduksi secara fisik. Kedewasaan tentu saja bukan soal usia semata, tetapi juga soal kematangan bersikap dan berperilaku. Usia dibutuhkan sebagai batasan dan penanda 
kongkrit yang dapat dipergunakan sebagai standar bagi kedewasaan. Hal tersebut dikarenakan pernikahan tidak hanya soal pelampiasan hasrat seksual atau biologis semata. Pernikahan juga mengandung tanggung-jawab sosial yang besar dan mengemban visi sakinah, mawaddah wa rahhmah (mendatangkan ketentraman diri, 
kebahagiaan dan cinta kasih).

Demikian beratnya visi dan tanggungjawab yang dikandung dalam sebuah pernikahan, maka kedewasaan merupakan salah satu 
item yang memberikan pengaruh signifikan dalam kelanggengan rumah tangga di masa mendatang. Demikian pentingnya kedewasaan 
dalam pernikahan, Ibn Syubrumah, Abu Bakr al-Asham, dan Utsman al-Batti (Muhammad, 2007: 94) yang merupakan pakar hukum Islam 
klasik sampai mengeluarkan fatwa keabsahan sebuah pernikahan di bawah umur. Mereka mendasarkan pandangan ini kepada ayat 
Al-Qur’an yang mengaitkan waktu pernikahan seseorang dengan usia kematangan dan kedewasaan (rushd) 

Syarat kedewasaan ini menjadi semakin penting karena studi yang ada menunjukkan bahwa perkawinan yang dilakukan di usia 
dini atau belia memiliki kecenderungan untuk bercerai. Kondisi tersebut terasa logis karena kesiapan mental pasangan yang belia 
belum cukup untuk mengarungi kehidupan rumah tangga di masa sekarang. Pendapat ini pula yang kemudian diadopsi oleh UU Perkawinan No.: 1 Tahun 1974 yang menyatakan batasan usia minimal yang diperbolehkan untuk melakukan pernikahan adalah 21 tahun. Di bawah usia tersebut diperlukan izin orangtua dengan syarat minimal 19 tahun bagi pria dan 16 tahun. 

Persetujuan menikah kedua mempelai

 “Hari gini masih dijodohkan…!!”. Begitu kelakar anak-anak muda sekarang. Mungkin bagi sebagian orang, perjodohan menjadi momok. Tetapi tidak sedikit yang justru hanya bisa menikah lewat perjodohan, baik oleh keluarga, teman dekat, maupun komunitas organisasi. Tidak sedikit pula mereka yang dijodohkan berada dalam perkawinan yang bahagia dan langeng. Karena itu, perjodohan bukanlah pangkal masalah. Yang menjadi pangkal masalahnya adalah pemaksaan yang mungkin terkandung dalam perjodohan tersebut. 

Pemaksaan, baik pada satu pihak atau kepada kedua belah pihak, merupakan awal yang buruk untuk memulai sebuah pernikahan. Karena lazimnya, sesuatu yang diawali dengan paksaan tidak akan berujung kepada kebaikan. Mereka yang dipaksa akan mengalami siksaan batin yang lama dan terus menerus, hidupnya tertekan, sikap dan perilakunya menjadi tidak tulus, dan sangat mungkin menjadi pelaku atau, malah, korban kekerasan dalam rumah tangga. 

Untuk sebuah pernikahan yang kokoh, kedua calon mempelai harus benar-benar memiliki kemauan yang paripurna. Tanpa paksaan siapapun. Dalam bahasa fiqh disebut sebagai kerelaan satu sama lain (taradlin). Untuk situasi kita saat ini, kisah-kisah pemaksaan pernikahan seperti kasus Siti Nurbaya dulu sudah jarang terdengar lagi. Karena, sudah banyak perempuan yang mandiri, berpendidikan tinggi, memiliki penghasilan cukup, dan punya pengalaman sosial yang cukup untuk membuatnya tidak dapat dipaksa oleh keluarga dalam urusan pernikahan. Tetapi teks hadis ini masih sangat relevan untuk menegaskan kemandirian dalam pernikahan yang menyangkut nasib hidupnya ke depan. Hal tersebut dikarenakan tidak sedikit yang masih menganggap bahwa perempuan harus tunduk pada keputusan laki-laki; jika anak perempuan pada ayahnya, dan jika istri pada suaminya. Anggapan ini tentu saja menyalahi kemandirian perempuan sebagai manusia utuh yang terekam pada teks tersebut di atas.

Sedikit banyak urusan kerelaan antara calon pasangan suami istri untuk menikah ini seringkali berbenturan dengan kewenangan yang diberikan oleh Allah kepada wali pihak perempuan. Dalam berbagai kesempatan, yang terjadi adalah sang wali merasa berhak untuk menjodohkan anak gadis yang berada dalam perwaliannya kepada seseorang tanpa harus meminta kerelaan sang anak atau bahkan melakukan pemaksaan. Tentu hal ini bertentangan dengan hadis yang ada di atas. Namun, sebelum membahas kasus tersebut lebih jauh lagi, ada baiknya kita paparkan apa yang dimaksud dengan wali, bagaimana kewenangannya, dan bagaimana hubungannya dengan konsep ijbar dalam perwalian. 

Dari segi bahasa, kata wali yang berasal dari bahasa arab berarti penolong atau pelindung atau penanggung jawab. Salah satu tujuan keberadaannya adalah untuk memastikan kebaikan dan menjauhkan segala keburukan bagi sang perempuan dalam urusan pernikahan ini. Dengan kata lain, keberadaan wali berguna untuk memastikan pihak perempuan memperoleh haknya dan pernikahan tersebut direstui dan diberkati. Sedangkan dalam konteks akad nikah, keberadaan wali dari pihak perempuan merupakan syarat sahnya sebuah pernikahan. Pendapat ini merupakan pendapat mayoritas imam (pakar) fiqh (hukum Islam). Pendapat pertama tadi yang diadopsi oleh UU Perkawinan tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam untuk kemudian menjadi prosedur baku bagi setiap pasangan yang hendak menikah di wilayah Indonesia. Dari paparan tersebut dapat disimpulkan bahwa keberadaan wali dalam pernikahan merupakan pelindung bagi kepentingan dan kebaikan pihak perempuan, memastikan pihak perempuan mendapatkan haknya sebagai pihak yang dilamar serta sebagai “penyaring” kepantasan dan kualitas calon pengantin pria yang hendak melamar. Terlepas dari kewenangan tersebut, wali tidak diperkenankan untuk bertindak di luar batas kemaslahatanperempuan yang berada di bawah perwaliannya. Dalam hal sang perempuan telah memantapkan hatinya untuk menerima seorang pria sebagai calon suaminya, maka sang wali tidak dapat menghalanginya untuk menikah dengan pria tersebut, selama sang pria memenuhi persyaratan syariat seperti sudah dewasa, muslim, dan mampu memberikan nafkah baik lahir maupun batin. 

Keberadaannya sebagai pelindung itu juga membuat seorang wali dapat dicabut otoritasnya jika dia sudah bertindak tidak lagi atas kepentingan dan kebaikan sang perempuan yang berada dalam perwalianya. Seperti, sang wali berlaku kasar dan melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga, menelantarkan keluarganya dengan pergi tanpa tahu rimbanya, atau menolak untuk menikahkan karena alasan di luar syarat yang ditetapkan syariat seperti karena tidak memiliki kekayaan luar biasa atau yang semisal. Dalam kasus seperti ini, perempuan dapat mengajukan perpindahan kewalian kepada pengadilan untuk kemudian, jika terbukti, dipindahkan kepada kerabat lain atau kepada wali hakim. 

Meluruskan niat menikah

 Tiap orang yang ingin menikah mesti memiliki tujuan di balik keputusannya tersebut. Bagi sebagian orang, menikah merupakan sarana untuk menghindari hubungan seksual di luar nikah (perzinaan). Secara tidak langsung mereka yang menikah atas dasar pemikiran seperti ini hendak menyatakan bahwa menikah tak lebih dari persoalan pemuasan kebutuhan biologis semata. Ada pula yang menikah karena alasan finansial seperti mendapatkan kehidupan yang lebih layak, atau mengikuti arus semata. Sebagian lain menikah karena tak dapat menolak desakan keluarga atau terpaksa mengikuti karena berbagai alasan lain. 

Sebagai bagian dari ibadah, pernikahan dalam Islam adalah media pengharapan untuk segala kebaikan dan kemaslahatan. Atas harapan ini, ia sering disebut sebagai ibadah dan sunnah. Untuk itu, pernikahan harus didasarkan pada visi spiritual sekaligus material. Visi inilah yang disebut Nabi Saw sebagai ‘din ’, untuk mengimbangi keinginan rendah pernikahan yang hanya sekedar perbaikan status keluarga (hasab), perolehan harta (mal), atau kepuasan biologis (jamal)

Walaupun redaksi hadis ini berbicara tentang daya tarik perempuan yang hendak dinikahi, akan tetapi karakteristik dan daya tarik tersebut juga dapat diterapkan kepada pria. Dengan demikian, muara dari teks hadis ini adalah soal empat faktor yang menjadi motivasi pernikahan yaitu: harta, status sosial, keinginan biologis, dan din atau agama. Dalam konteks hadis ini, kata din adalah keimanan kepada Allah Swt yang dapat membentuk kepribadian yang stabil dalam segala keadaan. Jiwa yang tangguh, percaya diri, rendah hati, dan sabar. Dalam konteks Din sebagai ibadah ritual sehari-hari mulai dari ibadah wajib semisal salat, zakat, puasa, haji, hingga zikir harian, maka din tersebut menjadi media penguatan kepribadian yang dimaksud. 

Kata Din ini juga bisa diartikan sebagai komitmen moral akan nilai-nilai kebaikan dan kebersamaan dalam berkeluarga. Komitmen ini yang akan menjadi pondasi dalam mengarungi kehidupan keluarga yang mungkin akan menghadapi berbagai gejolak dan masalah di kemudian hari. Jika dikaitkan dengan QS. ArRum/30:21, maka din adalah komitmen dua calon mempelai untuk selalu menghadirkan ketentraman (sakinah) dan menghidupkan cinta kasih dalam berumah tangga (mawaddah wa rahmah). Visi mawaddah wa rahmah (ketentraman batin dan cinta kasih) ini harus menjadi niat yang paling fundamental.

Oleh karena itu, pasangan yang hendak menikah seharusnya kembali memeriksa niat masing-masing, membetulkan dan meluruskan niat agar pernikahan yang dilakukan tidak hanya bersifat pelampiasan kebutuhan biologis semata, tapi juga merupakan ibadah karena Allah SWT. Pasangan yang meluruskan niatnya untuk menikah karena Allah semata diharapkan akan memahami bahwa visi pernikahan yang memberikan ketentraman pada diri dan keluarga serta penuh cinta kasih tersebut, tidak akan dapat dicapai tanpa komitmen bersama menjaga diri dan pasangan untuk berbuat aniaya. Tanpa pemahaman yang benar akan esensi pernikahan dan dilandaskan pada niat yang tulus karena Allah SWT, potensi tindakan aniaya kepada pasangan menjadi semakin besar. 

Misalnya, jika pernikahan tersebut hanya dilandaskan pada keinginan menghalalkan pelampiasan kebutuhan biologis, maka penurunan pemenuhan kebutuhan tersebut dapat mengarah kepada tindakan negatif dan juga merusak. Perselingkuhan dan pernikahan kedua (poligami) tanpa sepengetahuan istri pertama dan dilakukan secara sembunyi menjadi contoh kasus yang kerap diawali oleh hal ini. Tindakan ini bukan hanya menghancurkan hubungan pernikahan yang telah dibina, tapi juga melukai pasangan dan berpotensi merusak kondisi kejiwaan anak di masa yang akan datang. 

Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa hanya dengan meluruskan niat yang dimulai dengan instropeksi ke niat masingmasing, maka sebuah pernikahan dapat menghadirkan kebaikan kepada pasangan yang hendak menikah dan juga menjadi aktivitas yang bernilai ibadah. 

Merencanakan Perkawinan yang Kokoh Menuju Keluarga Sakinah

 Menikah itu tak hanya suka dan gembira, tapi juga harus kokoh dan mulia. Pernikahan dapat disebut sebagai pernikahan yang kokoh apabila ikatan hidup tersebut dapat mengantarkan kedua mempelai pada kebahagian dan cinta kasih. Pernikahan yang kokoh juga merupakan ikatan yang dapat memenuhi kebutuhan keduanya, baik kebutuhan lahiriyah maupun batiniyah, yang dapat melejitkan fungsi keluarga baik spiritual, psikologi, sosial budaya, pendidikan, reproduksi, lingkungan, maupun ekonomi. Keseluruhan fungsi tersebut yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No: 21 tahun 1994 (pasal 4) dirangkum dalam bahasa Al-Qur’an dalam 3 kata kunci sakinah, mawaddah, dan rahmah .

Agar sebuah pernikahan dapat menjadi pernikahan yang kokoh, kedua calon pengantin harus melakukan persiapan yang cermat dan matang. Cermat berarti keduanya memiliki pengatahuan untuk dapat mengantisipasi berbagai hal yang akan timbul dari pernikahan tersebut. Matang dalam arti keduanya bersedia berusaha bersama dalam menumbuhkan semangat, nyaman, rela, dan tanpa paksaan sama sekali dalam memasuki gerbang pernikahan. Dan dalam rangka menumbuhkan kenyamanan tersebut maka kedua belah pihak, harus berusaha semakin mengenal calon pasangan hidupnya, termasuk mengenal keluarga masing-masing.

Dalam Islam, semua proses pra-nikah-mulai dari niat menikah, khitbah, perwalian, mahar, saksi, akad menikah, dan walimah-merupakan pengkondisian agar pernikahan yang terjadi kelak benar-benar menjadi sebuah pernikahan kokoh dan bermuara kepada keluarga yang harmonis dan penuh cinta kasih.

Tingkatan keluarga sakinah

 


Lima tingkatan keluarga sakinah, dengan kriteria sebagai berikut:

1. Keluarga Pra Sakinah: yaitu keluarga-keluarga yang dibentuk bukan melalui ketentuan perkawinan yang sah, tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar spiritual dan material (kebutuhan pokok) secara minimal, seperti keimanan, shalat, zakat fitrah, puasa, sandang, pangan, papan dan kesehatan.

Tolok-ukurnya:

a. Keluarga yang dibentuk melalui perkawinan yang tidak sah

b. Tidak sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku

c. Tidak memiliki dasar keimanan

d. Tidak melakukan shalat wajib

e. Tidak mengeluarkan zakat fitrah

f. Tidak menjalankan puasa wajib

g. Tidak tamat SD, dan tidak dapat baca tulis

h. Termasuk kategori fakir dan atau miskin

i.  Berbuat asusila

j.  Terlibat perkara-perkara kriminal

2. Keluarga Sakinah I : yaitu keluarga-keluarga yang dibangun di atas perkawinan yang sah dan telah dapat memenuhi kebutuhan spiritual dan material secara minimal tetapi masih belum dapat memenuhi kebutuhan sosial psikologisnya, seperti kebutuhan pendidikan, bimbingan keagamaan dan keluarganya, mengikuti interaksi sosial keagamaan dengan lingkungannya.

Tolok-ukurnya:

a. Perkawinan sesuai dengan peraturan syariat dan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974

b. Keluarga memiliki surat nikah atau bukti lain, sebagai bukti perkawinan yang sah

c. Mempunyai perangkat shalat, sebagai bukti melaksanakan shalat wajib dan dasar keimanan

d. Terpenuhi kebutuhan makanan pokok, sebagai tanda bukan tergolong fakir dan miskin

e. Masih sering meninggalkan shalat

f. Jika sakit sering pergi ke dukun

g. Percaya terhadap takhayul

h. Tidak datang di pengajian atau majelis taklim

i.  Rata-rata keluarga tamat atau memiliki ijazah SD

3. Keluarga Sakinah II : yaitu keluarga-keluarga yang dibangun atas perkawinan yang saah dan selain telah dapat memenuhi kebutuhan kehidupannya juga telah mampu memahami pentingnya pelaksanaan ajaran agama serta bimbingan keagamaan dalam keluarga. Keluarga ini juga mampu mengadakan interaksi sosial keagamaan dengan lingkungannya, tetapi belum mampu menghayati serta mengembangkan nilainilai keimanan, ketaqwaan dan akhlakul karimah, infaq, zakat, amal jariyah menabung dan sebagainya.

Tolok-ukur tambahannya:

a. Tidak terjadi perceraian, kecuali sebab kematian atau hal sejenis lainnya yang mengharuskan terjadinya perceraian itu

b. Penghasilan keluarga melebihi kebutuhan pokok, sehingga bisa menabung

c. Rata-rata keluarga memiliki ijazah SLTP

d. Memiliki rumah sendiri meskipun sederhana

e. Keluarga aktif dalam kegiatan kemasyarakatan dan sosial keagamaan

f. Mampu memenuhi standar makanan yang sehat serta memenuhi empat sehat lima sempurna

g. Tidak terlibat perkara kriminal, judi, mabuk, prostitusi dan perbuatan amoral lainnya.

4. Keluarga Sakinah III : yaitu keluarga-keluarga yang dapat memenuhi seluruh kebutuhan keimanan, ketaqwaan, akhlakul karimah sosial psikologis, dan pengembangan keluarganya tetapi belum mampu menjadi suri-tauladan bagi lingkungannya.

Tolok Ukur tambahannya:

a. Aktif dalam upaya meningkatkan kegiatan dan gairah keagamaan di masjid-masjid maupun dalam keluarga

b. Keluarga aktif dalam pengurus kegiatan keagamaan dan sosial kemasyarakata

c. Aktif memberikan dorongan dan motifasi untuk meningkatkan kesehatan ibu dan anak serta kesehatan masyarakat pada umumnya

d. Rata-rata keluarga memiliki ijazah SMA ke atas

e. Mengeluarkan zakat, infaq, shadaqah, dan wakaf senantiasa menigkat

f. Meningkatkan pengeluaran qurban

g. Melaksanakan ibadah haji secara baik dan benar, sesuai tuntunan agama dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku

5. Keluarga Sakinah III Plus : yaitu keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi seluruh kebutuhan keimanan, ketaqwaan dan akhlakul karimah secara sempurna, kebutuhan sosial psikologis, dan pengembangannya serta dapat menjadi suri tauladan bagi lingkungannya.

Tolok-ukur tambahannya:

a. Keluarga yang telah melaksanakan ibadah haji dan dapat memenuhi kriteria haji yang mabrur

b. Menjadi tokoh agama, tokoh masyaraat dan tokoh organisasi yang dicintai oleh masyarakat dan keluarganya

c. Mengeluarkan zakat, infaq, shadaqah, jariyah, wakaf meningkat baik secara kualitatif maupun kuantitatif

d. Meningkatkan kemampuan keluarga dan masyarakat sekelilingnya dalam memenuhi ajaran agama

e. Keluarga mampu mengembangkan ajaran agama

f. Rata-rata anggota keluarga memiliki ijazah sarjana

g. Nilai-nilai keimanan, ketaqwaan dan akhlakul karimah tertanam dalam kehidupan pribadi dan keluarganya

h. Tumbuh berkembang perasaan cinta kasih sayang secara selaras, serasi dan seimbang dalam anggota keluarga dan lingkungannya

i.Mampu menjadi suri tauladan masyarakat sekitarnya

Pemanggilan test wawancara bagi peserta yang lolos seleksi administrasi rekrutmen kpps desa randuagung

 Panitia seleksi rekrutmen kpps telah mengeluarkanPengumuman hasil seleksi administrasi rekrutmen calon kpps, dan bagi peserta yang lolos ta...