Dahulu, kedewasaan diukur dengan menstruasi bagi perempuan dan mimpi basah bagi laki-laki. Saat ini kita menyadari bahwa kedua kondisi tersebut hanya menunjukkan kematangan biologis untuk urusan reproduksi secara fisik. Kedewasaan tentu saja bukan soal usia semata, tetapi juga soal kematangan bersikap dan berperilaku. Usia dibutuhkan sebagai batasan dan penanda
kongkrit yang dapat dipergunakan sebagai standar bagi kedewasaan. Hal tersebut dikarenakan pernikahan tidak hanya soal pelampiasan hasrat seksual atau biologis semata. Pernikahan juga mengandung tanggung-jawab sosial yang besar dan mengemban visi sakinah, mawaddah wa rahhmah (mendatangkan ketentraman diri,
kebahagiaan dan cinta kasih).
Demikian beratnya visi dan tanggungjawab yang dikandung dalam sebuah pernikahan, maka kedewasaan merupakan salah satu
item yang memberikan pengaruh signifikan dalam kelanggengan rumah tangga di masa mendatang. Demikian pentingnya kedewasaan
dalam pernikahan, Ibn Syubrumah, Abu Bakr al-Asham, dan Utsman al-Batti (Muhammad, 2007: 94) yang merupakan pakar hukum Islam
klasik sampai mengeluarkan fatwa keabsahan sebuah pernikahan di bawah umur. Mereka mendasarkan pandangan ini kepada ayat
Al-Qur’an yang mengaitkan waktu pernikahan seseorang dengan usia kematangan dan kedewasaan (rushd)
Syarat kedewasaan ini menjadi semakin penting karena studi yang ada menunjukkan bahwa perkawinan yang dilakukan di usia
dini atau belia memiliki kecenderungan untuk bercerai. Kondisi tersebut terasa logis karena kesiapan mental pasangan yang belia
belum cukup untuk mengarungi kehidupan rumah tangga di masa sekarang. Pendapat ini pula yang kemudian diadopsi oleh UU Perkawinan No.: 1 Tahun 1974 yang menyatakan batasan usia minimal yang diperbolehkan untuk melakukan pernikahan adalah 21 tahun. Di bawah usia tersebut diperlukan izin orangtua dengan syarat minimal 19 tahun bagi pria dan 16 tahun.
No comments:
Post a Comment