Di nusantara ini, prosesi akad nikah kadang lebih kental dengan nuansa budaya dibanding agama. Kebanyakan orang lebih terikat dengan adat istiadat yang telah membudaya daripada dengan ajaran agama. Tentu saja, adat istiadat yang berkaitan dengan pernikahan diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan syariat Islam. Walaupun demikian, sejak awal Islam juga mengajarkan kesederhanaan dalam prosesi pernikahan sehingga semua rangkaian prosesi ini tidak menyulitkan atau membebani kedua mempelai. Sebab, dalam pandangan Islam, seluruh rangkaian prosesi tersebut tak lebih dari simbol belaka, sementara substansinya adalah ikatan dan komitmen mereka berdua.
Hal yang sama juga berlaku dengan mahar yang menjadi salah satu rukun akad nikah dalam Islam. Mahar adalah pemberian suka rela yang merupakan simbol dari ketulusan, kejujuran, dan komitmennya dalam menikahi seorang perempuan.
Pemahaman mahar sebagai simbol cinta kasih ini juga penting karena ada sementara orang yang memahami mahar adalah alat tukar. Dengan demikian, ketika mahar sudah diberikan maka perempuan tersebut menjadi miliknya, dapat dikuasai dan harus mengikuti perintah dan kemauannya. Lebih jauh lagi, dengan pemahaman tersebut, makin besar mahar yang diberikan maka semakin tinggi rasa kepemilikan suami terhadap istrinya. Pemahaman seperti ini bukan hanya menyalahi alasan disyariatkannya mahar tapi juga berpotensi besar mengarah kepada kekerasan dalam rumah tangga dan berbagai efek negatif lain.
No comments:
Post a Comment