Home

Tahap Perkembangan Hubungan Perkawinan

 Sebagaimana telah dikemukakan di atas, perkawinan adalah proses yang dinamis dan berlangsung secara terus-menerus. Oleh karena itu, hubungan dalam perkawinan juga senantiasa mengalami perubahan. Pribadi pasangan suami dan istri juga akan berubah dan berkembang. Inilah sebabnya mengapa sangat penting untuk selalu bersandar kepada prinsip dan pilar perkawinan kokoh dalam Islam selama menjalani kehidupan rumah-tangga. Bagaimana perkembangan yang umumnya terjadi dalam hubungan perkawinan?


Menjaga dan Memupuk Tiga Komponen Hubungan Pasutri

 Mengingat pentingnya ketiga komponen tersebut di atas, maka pasangan suami-istri perlu senantiasa memupuk ketiganya. Mengabaikan salah satu komponen akan membuat hubungan menjadi tidak seimbang, dan menyebabkan hubungan suamiistri semakin lama akan semakin memburuk. Lalu bagaimana mempertahankan ketiga komponen itu agar tetap seimbang dan kuat? 

Memupuk Kedekatan Emosi. Bagaimana suami dan istri dapat memupuk kedekatan emosi? Dengan selalu menjaga keterbukaan dan sikap saling memahami di antara mereka. Banyak suami dan istri terjebak pada sikap saling menuntut dari pasangannya. Mereka berpikir “kalau kamu bisa membahagiakan saya, baru saya akan membahagiakan kamu.” Padahal di dalam perkawinan ada prinsip saling (tabadul), dan ini berarti kita tidak menunggu pasangan untuk melakukannya terlebih dahulu.

Menjaga Komitmen Tetap Kokoh. Bagaimana suami istri dapat menjaga dan memupuk komitmen? Caranya adalah dengan menjaga kejujuran dan kesetiaan, apapun yang terjadi, dan juga diiringi dengan sikap bertanggungjawab. Orang yang mampu menjaga komitmen sesungguhnya sedang mengamalkan teladan Nabi Muhammad Saw, yaitu bersikap Amanah. Selain itu juga harus selalu diingat bahwa komitmen perkawinan adalah perjanjian kokoh di hadapan Allah SWT. 

Komitmen pasangan suami-istri akan diuji oleh berbagai konflik dan persoalan yang muncul silih berganti dalam kehidupan berkeluarga. Setiap kali pasangan suami-istri dapat menyelesaikan konflik dan masalah dengan baik, komitmen juga akan bertambah kuat. Sebaliknya, setiap kali konflik dan persoalan dibiarkan berlarut-larut atau tidak diselesaikan dengan baik, maka komitmen akan berkurang kekuatannya. Karena itu, pasangan suami-istri perlu belajar bagaimana menyelesaikan masalah dan perbedaan di antara mereka.

Menjaga Api Gairah. Bagaimana dengan gairah? Gairah seksual merupakan kebutuhan dan dorongan yang sehat dalam kehidupan manusia. Apalagi dalam kehidupan suami istri. Menurut riset, bagi sebagian besar laki-laki, hubungan seksual bukan hanya soal mendapatkan kepuasan fisik. Demikian juga bagi sebagian perempuan. Di dalam hubungan seksual inilah, terjadi hubungan fisik dan emosional yang paling dekat antara laki-laki dan perempuan. 

Untuk menjaga api gairah, pasangan suami-istri perlu dengan sengaja memelihara hubungan yang sangat intim ini. Banyak hal akan membatasi hubungan seksual, seperti kesibukan, kelelahan mencari nafkah, kehadiran buah hati, bahkan kondisi lingkungan secara fisik. Justru dalam kondisi seperti inilah hubungan seksual perlu diperkuat. Ada banyak hal sederhana untuk menjaganya. Misalnya sentuhan fisik sederhana setiap kali sedang berdekatan, atau menyiapkan diri dengan pakaian dan wewangian yang mengundang keintiman. Bahkan pasangan suami-istri perlu meluangkan waktu khusus secara berkala untuk dihabiskan berdua saja.


Tujuh macam kondisi perkawinan

 7 macam kondisi perkawinan, yakni:

1. Kedekatan Emosi + Gairah + KomitmenIni adalah kondisi yang ideal dan dapat menciptakan kondisi sakinah mawaddah wa rahmah bagi pasangan suami istri.

2. Gairah + Komitmen – Kedekatan EmosiDalam kondisi ini, pasangan suami-istri sulit mendapatkan ketentraman hati. Ini karena kebutuhannya untuk memiliki pasangan jiwa tidak terpenuhi. Akibatnya, salah satu atau kedua belah pihak merasa tidak bahagia.

3. Komitmen + Kedekatan Emosi – GairahTanpa gairah, kebutuhan seksual pasangan suamiistri tidak akan terpenuhi, walaupun mereka memiliki komitmen hubungan yang kuat, dan saling memahami. Padahal kebutuhan seksual tak dapat diingkari bagi individu yang sehat. Apabila kebutuhan ini tak terpenuhi, cepat atau lambat ia akan cenderung mencari pemenuhan di luar hubungan pasangan suami-istri.

4. Kedekatan Emosi + Gairah – KomitmenBentuk hubungan seperti ini biasanya muncul pada saat pasangan sedang jatuh cinta. Perasaan yang menggebugebu mendominasi, sementara komitmen belum kuat. Tanpa komitmen, itikad kedua belah pihak tidak bisa dijamin. Karena itu bentuk hubungan ini tidak langgeng.

5. Kedekatan Emosi - Gairah – KomitmenBila yang dimiliki oleh pasangan suami-istri hanya kedekatan emosi, tetapi tidak ada gairah maupun komitmen di antara keduanya, maka bentuk hubungannya lebih mirip dengan persahabatan. Pasangan merasa nyaman, tapi tidak bisa mendapatkan kepuasan seksual dan jaminan jangka panjang. 

6. Gairah - Komitmen – Kedekatan EmosiGairah yang tinggi tanpa komitmen dan kedekatan emosi akan membuat hubungan yang tercipta menjadi hubungan yang sifatnya fisik belaka. Padahal untuk hubungan jangka panjang dibutuhkan komitmen yang tinggi. 

7. Komitmen - Kedekatan Emosi – Gairah Komitmen pasangan suami-istri adalah bentuk penghormatan kepada perjanjian kokoh (mitsaaqan ghalidhan) di mata Allah SWT. Tetapi tanpa kedekatan emosi dan gairah, hubungan yang terwujud adalah hubungan yang kering atau cinta hampa (empty love). Kondisi ini rawan menyebabkan pasangan suami-istri terjebak perselingkuhan, baik fisik maupun psikologis. 

Komponen dalam hubungan perkawinan

 erdasarkan penelitian-penelitian di dunia psikologi perkawinan, secara garis besar ada 3 komponen utama yang akan memengaruhi bentuk dan dinamika hubungan antara suami dan istri. Ketiga komponen itu adalah: 

1. Kedekatan Emosi, yaitu, bagaimana pasangan suami-istri merasa saling memiliki, saling terhubung dua pribadi menjadi satu. Kedekatan emosi ini membuat suami istri merasa tenteram.

2. Komitmen, yaitu, bagaimana kedua pasangan suamiistri mengikat janji untuk menjaga hubungan agar lestari dan membawa kebaikan bersama. Di dalam AlQur’an QS. An-Nisa/4:21 disebutkan bahwa perkawinan adalah janji kokoh (mitsaqan ghalidhan). Dengan menjaga komitmen, pasangan suami-istri tidak mudah mengkhianati pasangannya. Dengan adanya komitmen pula, pasangan suami-istri tidak mudah putus asa saat dinamika perkawinan terasa sangat berat.

3. Gairah, yaitu bagaimana dalam hubungan suami istri itu tercipta keinginan untuk mendapatkan kepuasan fisik dan seksual. Dalam hadis Nabi Saw dinyatakan bahwa perkawinan adalah demi “menjaga mata dan alat kelamin/organ reproduksi” (Aghadhdh li al-Bashar wa Ahshan li al-Farji). Jadi, salah satu tujuan perkawinan adalah menghalalkan hubungan seks antara laki-laki dan perempuan

Selamat menempuh hidup baru

 Kita sering mendengar ucapan selamat tersebut disampaikan kepada pasangan suami-istri yang baru menikah. Sebab, setelah resmi menikah, keduanya akan menjalani kehidupan yang sangat berbeda. Yang sebelumnya bertanggung jawab hanya untuk dirinya sendiri, setelah menikah mereka harus mengemban tanggung jawab dalam hidup bersama sebagai satu kesatuan. Yang sebelumnya hidup bersama keluarga orangtua, setelah menikah mereka harus mandiri. Ringkasnya, sesudah menikah, banyak hal dalam hidup yang mesti dihadapi bersama-sama. Dari sinilah mulai muncul aspek muamalah dan ibadah dalam perkawinan.

Sebagaimana perjalanan hidup manusia pada umumnya, kehidupan dalam perkawinan juga akan senantiasa mengalami perubahan dan pasang-surut. Inilah yang disebut dinamika perkawinan. Banyak hal yang akan memengaruhi dinamika perkawinan ini. Sebagian perkawinan berubah menjadi tak harmonis karena pasangan suami-istri tidak siap menjalani perannya dalam perkawinan. Atau, sebagian kehidupan rumah tangga berantakan karena pasangan suami-istri tidak siap dengan berbagai tantangan yang datang silih berganti.

Agar kehidupan rumah-tangga tetap sehat, harmonis, dan mampu menghadapi beragam tantangan dan persoalan hidup, perkawinan harus ditopang oleh pilar-pilar yang kuat. Sebagaimana dibahas dalam bab sebelumnya, ada 4 pilar perkawinan yang sehat. Pasangan suami-istri harus menyadari dan memahami bahwa:

1. hubungan perkawinan adalah berpasangan (zawaj), 

2. perkawinan adalah perjanjian yang kokoh (mitsaaqan ghalidha)

3. perkawinan perlu dibangun dengan sikap dan hubungan yang baik (mu’asyarah bil ma’ruf)

4. perkawinan dikelola dengan prinsip musyawarah. 

Keempat pilar inilah yang akan membantu menjaga hubungan yang kokoh antara pasangan suami-istri dan mewujudkan kehidupan perkawinan yang sakinah mawaddah wa rahmah. 


Menyelenggarakan walimah

 Walimah adalah perayaan dan ungkapan rasa syukur setelah akad pernikahan. Aktivitas tersebut juga berfungsi sebagai pemberitahuan kepada publik tentang adanya keluarga baru. Di saat yang sama, walimah bisa menjadi ajang dukungan keluarga dan komunitas terhadap kedua mempelai. Dan sebagaimana prinsip dalam mahar, keberadaan walimah juga adalah untuk memperkuat komitmen kedua mempelai. Bukan sebaliknya sehingga segala tata caranya harus dipastikan bisa mengantarkan mereka pada komitmen pernikahan yang kokoh dan membahagiakan.

Sebagaimana mahar, walimah juga tidak memiliki batasan tertentu dalam Islam. Untuk besar kecilnya, banyak orang akan merujuk kepada adat istiadat masing-masing. Namun, karena walimah merupakan ungkapan rasa syukur kepada yang Maha Kuasa, maka sebaiknya aktivitas tersebut bersifat mudah dan menyenangkan. Berkaitan dengan hal tersebut, secara umum, Islam meminta untuk melihat kemampuan masing-masing sehingga prosesi tersebut tidak memberatkan atau menyulitkan kedua mempelai atau keluarga, apalagi sampai meninggalkan hutang piutang.

Perjanjian pernikahan

 Beberapa pasangan memilih membuat berbagai perjanjian dalam akad pernikahan. Baik yang mengikat salah satu pihak, maupun yang mengikat dua pihak sekaligus. Dalam fiqh, perjanjian ini dikenal dengan syurut fi an-Nikah (Perjanjian Pernikahan). Perjanjian semacam ini dibolehkan selama tidak melanggar ajaran dasar Islam dan tidak menghapus hak-hak dasar dari pernikahan. Bahkan beberapa ulama justru menganggap ini penting karena pernikahan menuntut kehati-hatian, sebagaimana dijelaskan oleh Syarifuddin dalam Hukum Perkawinan Islam dan Indonesia. 

Undang-undang Perkawinan tahun 1974 sudah mengatur perjanjian pernikahan. Disebutkan, perjanjian pernikahan dapat disahkan selama tidak melanggar hukum, agama, dan kesusilaan. Perjanjian tersebut mengikat sejak akad dan berlangsung selama pernikahan dan tidak dapat diubah, kecuali atas persetujuan kedua belah pihak. KHI juga mengatur lebih rinci hingga mengenai tata cara perjanjian tersebut, termasuk di antaranya adalah taklik talak. Tata cara ini memiliki tujuan memberikan perlindungan yang cukup kepada perempuan dari kemungkinan penelantaran yang dilakukan pria. Hanya saja karena bersifat kontraktual, maka perjanjian tersebut hanya berlaku bagi mereka yang mengikatkan diri dengan perjanjian tersebut. Artinya, tidak semua pernikahan harus disertakan dengan perjanjian pernikahan


Pemanggilan test wawancara bagi peserta yang lolos seleksi administrasi rekrutmen kpps desa randuagung

 Panitia seleksi rekrutmen kpps telah mengeluarkanPengumuman hasil seleksi administrasi rekrutmen calon kpps, dan bagi peserta yang lolos ta...