Home

Terampil Berkomunikasi

 


Salah satu hal yang dianggap sering menjadi problem perkawinan adalah bagaimana suami dan istri berkomunikasi. Hubungan suami istri merenggang, karena tak mampu berkomunikasi dengan baik. Pasangan suami-istri yang mengenal dirinya sendiri dan mengenal pribadi pasangannya memiliki bekal untuk saling memahami dengan lebih mudah. Ditambah dengan terus menjaga komunikasi yang matang dengan pasangan, serta menjaga gairah di antara pasangan, maka komitmen dan kedekatan emosi akan tetap terjaga dengan baik. Dan dengan demikian, sampailah kita menjadi keluarga sakinah


Keberanian dan tenggangrasa dalam pasangan

 


Keberanian yang dimaksud di sini adalah keberanian untuk menyampaikan apa yang menjadi pendapat dan kebutuhan suami/istri.

Tenggangrasa yang dimaksud di sini adalah kemampuan suami/istri untuk memperhatikan pendapat atau kebutuhan pasangan.Kematangan ditandai dengan kemampuan pasangan suami/istri untuk menjaga agar keberanian dan tenggangrasa dapat berjalan dengan seimbang.

Dengan mempergunakan rumus ini, ada beberapa bentuk komunikasi yang terjadi antara pasangan suami-istri:

1. Keberanian tinggi x Tenggang Rasa rendah = Menang/Kalah

Kita menang karena kita berani memperjuangkan keinginan kita, dan pasangan kita kalah karena ia tidak mendapatkan apa yang dibutuhkannya. Pihak yang menang tidak mempertimbangkan kebutuhan pasangannya. 

Contohnya: suami melarang istri bekerja, tanpa mempertimbangkan kebutuhan istri untuk mengamalkan ilmunya. 

2. Keberanian rendah x Tenggang Rasa tinggi = Kalah/Menang

Kita kalah karena kita tidak berani menyampaikan kebutuhan kita, karena kita tahu pasangan kita menginginkan hal yang berbeda. Kita memiliki tenggangrasa yang terlalu tinggi dan mengabaikan kebutuhan kita sendiri. Sebagian besar korban KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) berada dalam kondisi ini. Mereka tidak ingin menjadi korban, namun tidak berani memperjuangkan haknya. Mereka juga sangat bertenggangrasa dan bahkan membela perilaku pasangannya dengan alasan-alasan seperti “maklum suami/istri saya sedang banyak masalah di kantor.” 

3. Keberanian rendah x Tenggang Rasa rendah = Kalah/Kalah

Di sini, pasangan suami-istri tidak memiliki keberanian untuk menyampaikan kebutuhannya sekaligus juga tidak mampu bertenggangrasa kepada kebutuhan pasangannya. Kondisi yang akan tercipta adalah kondisi di mana kedua belah pihak tidak terpenuhi kebutuhannya tanpa bisa memahami kebutuhan pasangannya. Pasangan dikuasai rasa tidak puas kepada pasangannya.

Contohnya, suami/istri yang sama-sama tidak maumembuka diri mengenai penghasilan pribadinya tetapi pada saat yang sama keduanya berprasangka bahwa pasangannya egois dan mau menang sendiri. 

4. Keberanian tinggi x Tenggang Rasa tinggi = Menang/Menang

Inilah inti dari prinsip musyawarah dan perdamaian (ishlah). Bentuk komunikasi yang paling ideal, di mana kedua belah pihak menunjukkan sikap terbuka untuk menyampaikan pendapat dan kebutuhannya, sekaligus menimbang kebutuhan pasangannya. Kedua belah pihak siap mencari titik temu dari kebutuhan-kebutuhan yang berbeda. Pasangan suami-istri meninggalkan sikap siapa benar siapa salah. Mereka memilih mencari jalan agar tidak ada yang dikorbankan dari keputusan yang akan diambil.

Contohnya, suami dan istri sama-sama ingin bekerja untuk mengamalkan ilmu, maka keduanya mencari titik tengahnya. Pasangan suami-istri memilih dari berbagai alternatif, semisal bekerja paruh waktu, atau bekerja dari rumah, dan seterusnya.

Kata positif dan negatif pada saat pasangan berinteraksi

 


Kata-kata dan sikap negatif ini menimbulkan luka-luka batin yang dalam. Ibaratnya menancapkan paku ke sebidang kayu. Saat paku dicabut, kayu tetap berlubang. Ini yang membuat kepercayaan di antara kedua pasangan semakin berkurang. Mengingat hal tersebut, pasangan suami-istri perlu berlatih menjaga hubungan di antara mereka agar tetap positif. 

Dalam membangun hubungan yang positif, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pasangan suami-istri:

1. Pasangan suami-istri harus memahami kebutuhan yang berbeda-beda di antara keduanya. Di sinilah prinsip kafa’ahakan membantu agar perbedaan di antara keduanya tidak terlalu tajam. Prinsip mawaddah dan rahmah pun terkait dengan kebutuhan yang berbeda ini. Seringkali suami/istri melupakan bahwa mereka berbeda dengan pasangannya. Apa yang dianggap penting bagi suami, belum tentu penting bagi istri. Demikian juga sebaliknya. Contohnya, seorang suami memiliki kebutuhan yang tinggi untuk menghabiskan waktu bersama keluarga, sementara sang istri lebih membutuhkan kedekatan melalui ungkapan verbal. 

2. Rekening Bank Hubungan, yaitu semacam rekening atau tabungan emosi antar pasangan. Ibaratnya, hal-hal baik yang kita lakukan untuk pasangan menjadi semacam setoran, dan sebaliknya hal-hal buruk yang kita lakukan menjadi semacam penarikan rekening. Sikap tulus dan saling ridla menjadi dasar dalam hal ini. Dengan memahami kebutuhan yang berbeda, kita bisa menambah saldo rekening bank hubungan dengan tepat. Layaknya manusia, kita pasti kerap berbuat salah. Setiap kali kita melakukan sesuatu yang menyenangkan bagi pasangan, maka saldo rekening kita akan bertambah. Setiap kali kita menyakiti pasangan kita, misalnya berselingkuh; maka saldo rekening kita akan berkurang. Saldo yang minus akan membuat hubungan menjadi hancur. 

3. Kematangan diri, terkait dengan kemampuan kita untuk menyeimbangkan antara kebutuhan kita dengan kebutuhan pasangan kita. Diharapkan keseimbangan ini akan memberikan rasa adil kepada kedua belah pihak. Bila salah satu pihak terlalu agresif dan hanya menuntut kebutuhannya dipenuhi, sementara ia tidak mempertimbangkan kebutuhan pasangan, bisa dipastikan hubungan yang tercipta pun menjadi hubungan yang tidak matang dan rentan kegagalan

Pembangun Hubungan Perkawinan

 Dampak dari tantangan dan dinamika perkawinan bisa bermacam-macam. Pada pasangan suami-istri yang berhasil menjalani proses dengan sehat dan baik, perkawinan menjadi tempat yang sangat nyaman dan sumber kekuatan untuk menghadapi tantangan kehidupan. Pada pasangan suami-istri yang tidak berhasil mengelola proses ini dengan sehat dan baik, perkawinan menjadi beban dan bahkan menjadi sumber masalah.

Al-Qur’an sudah menyebutkan perintah Allah SWT agar pasangan suami-istri bersikap dan berperilaku baik satu sama lain (mu’asyarah bil ma’ruf). Bagaimana bentuk nyatanya? Berdasarkan berbagai penelitian, para ahli psikologi keluarga menyatakan bahwa ada beberapa sikap dan perilaku yang bisa menghancurkan atau memperkuat hubungan pasangan suami-istri. Kita sebut saja keduanya sebagai Sikap “Penghancur Hubungan” dan “Pembangun Hubungan.” 

Sikap Penghancur Hubungan terutama muncul saat pasangan suami-istri menghadapi permasalahan. Misalnya, suatu ketika Ibu Mertua memutuskan untuk tinggal bersama pasangan suamiistri, namun sang suami tidak menyetujui. Atau saat istri berbeda pendapat dengan suami tentang cara mendisiplinkan anak. 

Beberapa di antara Sikap Penghancur Hubungan menurut The Gottman Institute dalam The Four Hosemen adalah sebagai berikut:

1. Kritik pedas (sikap menyalahkan), di mana suami istri tidak dapat melihat kebaikan dan keunggulan dari pasangan, dan tidak melihat kesalahan diri sendiri yang menyebabkan terjadinya pertengkaran. Misalnya, suami menganggap istri tidak becus menjadi ibu sehingga anak mereka menjadi bandel dan suka berkelahi. Ia lupa bahwa tanggungjawab menjadi orangtua jatuh kepada baik suami maupun istri. 

2. Sikap membenci dan merendahkan, di mana suami/istri menunjukkan bahwa pasangannya bukan pasangan yang baik, membandingkannya dengan orang lain, dan menunjukkan kebencian dengan mengungkit berbagai kelemahan pasangan. Misalnya, istri mengatakan “aku menyesal menikah dengan kamu, kalau dulu aku memilih menikah dengan si Anu pasti hidupku sudah kaya-raya dan bahagia.”

3. Sikap membela diri dan mencari-cari alasan, di mana suami/istri menganggap bahwa sikap dan perilakunya yang salah adalah karena sebab lain di luar dirinya. Misalnya suami yang terlalu sibuk di luar rumah membela dirinya dengan menyalahkan istri yang membuatnya tidak kerasan di rumah. 

4. Sikap mendiamkan (mengabaikan), di mana suami/istri memilih untuk mendiamkan pasangannya. Biasanya dengan alasan tidak ingin bertengkar, suami/istri justru bersikap pasif-agresif yaitu menyerang dalam diam. Di sini suami/istri melawan dengan melakukan hal yang berbeda dengan apa yang diharapkan pasangan. Misalnya suami meminta istri untuk menerima Ibu sang suami yang akan tinggal bersama pasangan suami-istri. Sang istri tidak menentang, tetapi selama sang Ibu Mertua di rumah, ia mengabaikan kebutuhan si Ibu Mertua. 

Dapat kita lihat bahwa semua kebiasaan ini berlawanan dengan prinsip perkawinan yang terdapat dalam Al-Qur’an. Demikianlah yang terjadi apabila pasangan suami-istri meninggalkan sikap salingridla, tulus (nihlah) dan perdamaian (ishlah).

Pemanggilan test wawancara bagi peserta yang lolos seleksi administrasi rekrutmen kpps desa randuagung

 Panitia seleksi rekrutmen kpps telah mengeluarkanPengumuman hasil seleksi administrasi rekrutmen calon kpps, dan bagi peserta yang lolos ta...