Home

Ancaman Kekerasan dalam Rumah Tangga

 


Salah satu bentuk ancaman serius dan paling sering dihadapi oleh keluarga adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Dalam UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) pasal 1 ayat 1, yang dimaksud dengan kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang, terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Dari definisi UU ini, kekerasan pada dasarnya bisa menimpa siapa saja. Tetapi di masyarakat yang banyak menjadi korbannya adalah perempuan. Tindak kekerasan yang muncul bisa disebabkan oleh bermacammacam. Adakalanya karena masalah ekonomi, munculnya pihak ketiga, watak yang dimiliki pasangan, dan lain sebagainya. 

Bentuk-bentuk KDRT

1. Kekerasan fisik

Sebagaimana dalam UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, yang dimaksud dengan kekerasan fisik adalah: “Perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

2. Kekerasan psikis

Adapun kekerasan psikis (kejiwaan) adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau rasa penderitaan psikis berat pada seseorang.

3. Kekerasan seksual

Kekerasan seksual adalah kekerasan yang meliputi:

-Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut.

-Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.


Perkawinan-Perkawinan Beresiko

 


Ada beberapa bentuk perkawinan yang beresiko pada ketahanan keluarga. Di antaranya adalah perkawinan berikut ini:

Perkawinan Tidak Tercatat. Pernikahan Tidak Tercatat adalah pernikahan yang tidak dilakukan di hadapan pegawai pencatat nikah. Dalam pasal 5 dan 6 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam, dinyatakan bahwa pernikahan harus dicatat oleh pegawai pencatat nikah dan pernikahannya pun dilakukan di hadapan pegawai pencatat nikah. Pasal 6 ayat 2 KHI menegaskan bahwa pernikahan yang tidak dicatat tidak memiliki kekuatan hukum. 

Ada beberapa alasan yang menyebabkan terjadinya perkawinan tidak dicatat. Di antaranya karena alasan ekonomi. Tetek-bengek pernikahan yang menguras ongkos besar memang tidak bisa diabaikan. Meskipun biaya pernikahan di KUA sudah gratis, tetapi kenyataannya pernikahan secara sosial dan adat selalu membutuhkan biaya yang besar. Dari mulai biaya untuk lamaran, mahar, biaya walimah atau resepsi yang dilakukan, dan lain sebagainya. Karena keterbatasan ekonomi, ada pasangan yang memilih nikah sirri sebagai jalan keluar. 

Ada pula yang alasannya bersifat birokratis. Misalnya, ketika seseorang dihadapkan pada kebijakan instansi yang melarang pegawainya untuk menikah selama menjabat jabatan tertentu, sedangkan calon pengantin tidak mungkin menunda pernikahan karena alasan tertentu. Karenanya calon pengantin itu terpaksa melakukan pernikahan tidak dicatat demi kemaslahatan bersama. 

Ada pula yang melakukan perkawinan tidak dicatat dengan alasan adat/agama. Bagi sebagian kalangan terdapat masyarakat yang masih menganggap bahwa pencatatan pernikahan adalah tidak wajib. Sah dan tidaknya pernikahan cukup dengan mengikuti tatacara agama, sehingga pencatatan tidak menjadi kebutuhan bagi mereka. Atau mereka terpengaruh adat tertentu, misalnya terkait pilihan waktu, tempat, dan lainnya. Pemahaman seperti ini juga termasuk yang menjadi pertimbangan pasangan pengantin untuk tidak mencatatkan perkawinannya. 

Alasan lain muncul karena pertimbangan yang manipulatif. Maksudnya, ada seseorang yang melamar calonnya dengan cara yang tidak jujur. Misalnya, ia tidak jujur dengan statusnya. Atau diketahui statusnya, tetapi memanipulasi calonnya dengancinta palsu. Misalnya, saat melamar calon sebagai istri kedua dan seterusnya. Dengan kondisi yang ada, salah satu pasangan memaksa atau meyakinkan pasangannya untuk memilih nikah tanpa dicatatkan. Karena ia menyadari, nikah yang resmi atau dicatatkan tidak mungkin dilakukan. Tetapi jika anda mengetahui hal ini, sebaiknya hindari untuk melanjutkan pada jenjang pernikahan. 

Apapun penyebabnya, perkawinan tidak tercatat tentu sangat beresiko sebab ikatan yang mereka lakukan tidak diakui oleh Negara. Dengan tidak adanya pengakuan ini, maka perkawinan tidak tercatat akan mengakibatkan beberapa masalah dalam kehidupan rumah tangga, misalnya:

- Tidak adanya jaminan hukum. Pasangan pernikahan ini tidak berhak memiliki akta nikah atau cerai.

- Tidak diperbolehkannya mencantumkan nama ayah kandung di akta kelahiran anak secara otomatis karena tidak adanya Akta Nikah (surat nikah) orang tua yang menjadi dasarnya. Hal ini dapat memberikan dampak buruk pada anak mengingat mereka dipandang oleh Negara dan masyarakat sebagai anak yang lahir di luar perkawinan. Di samping itu, Akta Kelahiran juga akan berpengaruh pada dokumen-dokumen Negara lainnya yang akan dimiliki anak, seperti ijazah, KTP, KK, dan dokumen lainnya hingga dewasa. Oleh karena itu, pastikan perkawinan dicatatkan dan simpan buku nikah dengan baik, karena ia tidak hanya melindungi perkawinan tetapi juga keluarga termasuk perlindungan pada hak anak secara menyeluruh.

- jika terjadi perpisahan, maka anak tersebut tidak bisa mendapatkan hak waris dari orang tua.

- jika terjadi perpisahan, istri tidak bisa menuntut hak nafkah yang harus dibayar oleh suami.

- Dimungkinkan adanya penyelewengan-penyelewengan oleh salah satu pasangan. Ini yang seringkali terjadi dan tentu sangat merugikan pasangan.

Jika pasangan suami istri terlanjur menghadapi kondisi semacam ini, maka bisa lakukan langkah-langkah berikut:

- Mengupayakan kesepahaman bersama dengan pasangan tentang bahaya dan akibat-akibat negatif tidak dicatatkannya perkawinan yang dapat mengancam keutuhan keluarga. 

- Identifikasi penyebab yang melatarbelakangi perkawinan tidak tercatat yang dihadapi pasangan. Hal ini penting untuk menentukan langkah penyelesaian selanjutnya. Alasan birokratis dengan alasan ekonomi, adat/agama, atau manipulatif berpengaruh pada kapan langkah selanjutnya dilakukan. 

- Segera ajukan itsbat nikah (penetapan perkawinan) ke Pengadilan Agama setempat. Sebagaimana dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 7 ayat 2, bahwa pernikahan yang belum tercatat secara resmi, maka dapat diajukan itsbat nikah ke Pengadilan Agama. Itsbat nikah bisa diajukan oleh suami, istri, anak, wali, atau pihak yang berkepentingan dengan pernikahan itu. 


Perkawinan Poligami. Poligami adalah pernikahan yang dilakukan dengan lebih dari satu orang. Dalam hal ini yang diperbolehkan untuk melakukannya adalah laki-laki. Di Indonesia pernikahan poligami diperbolehkan berdasarkan pasal 55 KHI dengan terpenuhinya syarat-syarat yang telah diatur dalam UU Pernikahan No. 1/1974 maupuan KHI. Namun demikian, pernikahan poligami dalam kenyataannya banyak menimbulkan problematika keluarga yang cukup pelik. Di antara problem yang diakibatkan poligami adalah:

- Adanya goncangan mental bagi seluruh anggota keluarga. Bukan hanya istri tapi juga anak-anak. 

-Penistaan terhadap eksistensi istri.

- Timbulnya spiral kekerasan dalam rumah tangga, baik secara fisik maupun psikis.

- Anak-anak yang terlantar.

- Goncangan terhadap stabilitas keluarga.

- Rusaknya harmoni dalam keluarga.

- Ketidakadilan nafkah lahir batin.

- Rusaknya hubungan baik keluarga dua belah pihak pasangan suami istri.

- Membuka peluang besar terhadap pernikahan tidak tercatat, yang bisa juga menimbulkan problem tambahan dalam keluarga. 

Pernikahan yang demikian tentu saja sangat beresiko bagi keutuhan keluarga. Karena ternyata akibat dari pernikahan poligami ini dapat merusak tujuan pernikahan. Yakni menciptakan kehidupan yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Kasus poligami termasuk salah satu penyebab terjadinya perceraian dalam keluarga. Biasanya kehadiran pihak ketiga dalam keluarga, baik dalam bentuk perselingkuhan maupun poligami, selalu memicu api pertengkaran yang dapat berujung pada perpisahan. Oleh karena itu, calon pengantin harus memahami akibat-akibat di atas dengan sebaikbaiknya. Jika salah satunya memaksakan untuk melakukannya, maka pasangan, terutama perempuan, harus mampu untuk melakukan musyawarah dan tawar menawar dengan pasangannya. Apabila akhirnya terjadi pernikahan poligami, ada beberapa prinisp yang perlu kita pegang. 

- Menyiapkan mental sebaik-baiknya dan berpikir positif agar tidak terpuruk secara mental. 

- Melibatkan keluarga besar untuk memantau perilaku suami yang berpoligami. Ini penting agar anda tidak merasa sendiri dalam menanggung beban berat ini. 

-Memastikan suami bisa berlaku adil dalam memberikan nafkah. Karena hal ini menjadi syarat diijinkannya poligami. Termasuk anda harus mengetahui penghasilan suami secara resmi.

- Pastikan suami bersikap adil dengan membuat surat pernyataan atau perjanjian yang bermeterai di depan Pengadilan Agama.

- Pastikan pernikahan suami dilakukan secara resmi.

- jika suami mengelak memenuhi hak-hak istri dan anakanak, maka jangan biarkan

Ketahanan Keluarga dalam Menghadapi Tantangan Kekinian

Pernikahan adalah mitsaqan ghalidzan atau janji yang kuat sehingga harus dijaga kelangsungannya. Sebelum menikah pasangan suami istri perlu untuk memiliki tekad kuat dalam mempertahankan ikatan ini sepanjang nyawa masih di kandung badan. Namun kehidupan dalam pernikahan pasti bertemu rintangan dan tantangan. Tak ada perahu rumah tangga yang tidak diterjang oleh ombak dan badai. Oleh karenanya pasangan suami dan istri harus mampu bekerja sama menghadapi semua rintangan. 

Rintangan ada yang ringan dan ada yang berat. Yang sifatnya berat kita sebut sebagai kondisi khusus. Maksudnya, bahwa dalam kehidupan keluarga dimungkinkan akan menghadapi rintangan berat yang mampu mengancam keutuhan keluarga secara serius. Misalnya, terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, terlibat dalam jaringan pecandu narkoba, berada dalam wilayah konflik, menghadapi pernikahan beresiko, dan lain sebagainya.

Oleh karena itu penting bagi calon pengantin untuk mendapatkan informasi beberapa kondisi khusus dalam kehidupan keluarga, serta mampu untuk mengantisipasi dan menghadapinya. 


Tantangan dalam Situasi Khusus


 1. Ayah dan Ibu berbeda dalam pola asuh Masing-masing orangtua memiliki latar belakang dan pengalaman yang berbeda-beda. Jika ada perbedaan ayah dan ibu dalam mengasuh dan mendidik anak adalah wajar. Namun perbedaan pola asuh ini ternyata berdampak negatif. Anak dapat mengalami kebingungan, sebenarnya perilaku yang diharapkan yang mana. Perbedaan pola asuh ini juga dapat menjadi sumber konflik suami-istri yang akan mengurangi keharmonisan keluarga. Konflik antara ayah dan ibu yang terjadi dapat mempengaruhi perkembangan psikologis anak. 

Alternatif solusi: 

a. Ayah dan ibu perlu menyepakati nilai-nilai yang utama sebagai pedoman dalam mendidik anak

b. Setiap menemukan perbedaan cara/pola asuh, sebaiknya menggunakan salah satu cara yang sudah lebih dulu diterapkan. Ayah dan ibu perlu menghindari berdebat tentang perbedaan cara merespon anak ini di depannya. Bila situasinya sudah memungkinkan, ayah dan ibu perlu berbicara secara khusus tentang cara yang akan disepakati selanjutnya, namun pembicaraan ini tidak dilakukan di depan anak.

c. Gunakan pola asuh yang memang memiliki dasar nilai yang menjadi nilai utama dalam mendidik anak. Cek/lihat kembali tugas 3!

2. Ayah dan Ibu sama-sama bekerja

Pada jaman sekarang tidak sedikit keluarga yang dihadapkan pada situasi ini. Tuntutan ekonomi menjadi alasan utama sehingga kedua orangtua harus sama-sama bekerja. Akibat dari situasi ini adalah berkurangnya waktu dan perhatian orangtua kepada anak. 

Alternatif solusi: 

a. Jika memungkinkan, menyepakati waktu bekerja agar suami dan istri dapat secara bergantian mengasuh anak.

b. Ketika sudah di rumah, baik suami dan istri memberikan perhatian penuh pada anak. Dengan waktu yang terbatas, upayakan kualitas hubungan tetap terjaga. Tetap sepakati di mana dalam satu minggu, ada hari keluarga. 

c. Salah satu pasangan dapat memilih profesi/pekerjaan yang dapat dilakukan di rumah.

d. Melibatkan bantuan dari pihak lain yang dapat dipercaya (kakek/nenek, paman/bibi, saudara, taman pengasuhan anak/TPA, dan lain-lain).

3. Ketika ada campur tangan pengasuhan dari keluarga besarSebagian besar budaya di Indonesia adalah sifat kekeluargaan/ kekerabatan yang sangat kuat. Tidak jarang, keluarga besar masih terlibat dalam urusan rumah tangga keluarga inti. Misalnya: kakek/nenek yang terlibat dalam pengasuhan anak. Pola asuh dari kakek/nenek bisa jadi tidak sama dengan pola asuh yang kita terapkan. Jika hal ini terjadi, sedikit banyak tetap berpengaruh pada perilaku anak.

Alternatif solusi: 

a. Jika ada pihak lain yang menerapkan pola asuh yang tidak sesuai, kurangi jumlah waktu bersama mereka. Ingat, dengan siapakah anak banyak menghabiskan waktunya maka orang tersebut memiliki pengaruh yang kuat dalam membentuk pribadi anak. Usahakan bahwa anak tetap lebih banyak bersama orangtua, sehingga orangtua tetap lebih dominan dalam membentuk karakter anak.

b. Bicarakan dengan pasangan, solusi yang akan dipilih untuk memperbaiki pola asuh yang salah dari pihak lain.

c. Sampaikan secara baik-baik, harapan anda kepada pihak keluarga/lain yang menerapkan pola asuh salah tersebut.

4. Memiliki anak berkebutuhan khusus (ABK)

Anak Berkebutuhan Khusus adalah anak yang mengalami hambatan perkembangan. Orangtua yang memiliki ABK akan menghadapi tantangan yang semakin berat. Diperlukan kerja keras dan kerja sama yang lebih kuat dari kedua orangtuanya. Orangtua harus menerima kenyataan dengan ikhlas. Berbagai upaya tetap harus dilakukan agar anak berkembang dengan lebih baik. 

Alternatif solusi: 

a. Segera bawa anak ke petugas kesehatan. Anda dapat membawanya ke puskesmas, rumah sakit, maupun klinik tumbuh kembang anak yang ada di daerah anda. Deteksi Dini Tumbuh Kembang Anak (DDTKA) sangat penting untuk segera dilakukan. Penanganan sedini mungkin akan jauh lebih baik. Sebaliknya, jika terlambat mendapatkan penanganan yang tepat, maka bisa berdampak jangka panjang.

b. Melibatkan pihak lain dalam menangani anak. Pihak lain yang dapat dimintai bantuan misalnya dokter, psikolog, terapis, pendidik/guru. Kerja sama dari banyak pihak akan semakin baik. 

c. Kedua orangtua harus terlibat penuh dalam melatih, memberi rangsangan serta memantau perkembangannya. Orangtua perlu bersikap positif dan aktif. Jika orangtuanya sendiri yang melatih (menangani), hasil kemajuan anak akan jauh lebih baik. 

d. Menetapkan harapan yang masuk akal. Setiap ABK memiliki keunikannya sendiri-sendiri. Jangan pernah membandingkan dia dengan anak lain! Ia memiliki keterbatasanya sendiri. Dan yakinlah bahwa mereka pun memiliki keunggulannya sendiri. Setiap ABK juga merupakan anak yang istimewa yang memiliki potensinya masing-masing.

e. ABK tetap memiliki hak untuk mendapatkan layanan pendidikan yang sama. Pemerintah menganjurkan agar ABK tetap diterima di sekolah umum bahkan sejak di PAUD (Kelompok Bermain, TK/RA, TPA). 

5. Pengasuhan Anak dalam situasi bencana alam

a. Menempatkan anak di tempat yang paling aman/terlindungi.

b. Menempatkan anak di lingkungan yang mereka kenal, di antara orang-orang yang ia kenal agar ia merasa aman dan nyaman. Ketika anak berada di lingkungan yang asing, maka anak akan semakin cemas. Maka dari itu, hindari anak dipisahkan dari keluarga, kerabat atau komunitasnya.

c. Situasi bencana sangat mungkin membuat anak trauma. Anak membutuhkan perhatian, kasih sayang, hiburan, serta kegiatan-kegiatan yang menyenangkan agar mereka cepat melupakan pengalaman traumanya. 

d. Perlu memperhatikan dan mengukur sejauh mana trauma dan dampak buruk yang ia alami. Segala upaya perlu dilakukan untuk memulihkan kondisi kejiwaan anak. Jika diperlukan, bantuan para ahli (dokter/ psikolog /pendamping anak) akan sangat membantu.

6. Ketika suami dan istri bercerai

Perceraian sudah pasti akan berdampak buruk pada anak. Dalam hal ini, anak akan selalu menjadi korban. Namun, seandainya memang cerai adalah keputusan yang diambil orangtua, maka anak tetap memiliki hak-hak yang sama yang harus tetap dipenuhi sepenuhnya. Islam mengatur hak asuh anak agar mereka tetap mendapatkan perhatian, kasih sayang dan tetap mendapatkan kebaikan. Jika anak dibiarkan tanpa ada penanggung jawab, maka anak akan terabaikan, dapat terancam bahaya tanpa ada yang melindungi. Tanggung jawab terhadap pemenuhan hak-hak anak ketika orangtua bercerai, tetap harus dipikul oleh kedua orangtuanya serta kerabat/keluarga besar yang masih memiliki hubungan darah. 

Strategi Menanamkan Kedisiplinan

 Disiplin adalah patuh atau taat pada aturan. Aturan ini bisa berupa aturan agama, nilai keluarga, aturan sekolah, maupun norma masyarakat/budaya yang berlaku. Menanamkan kedisiplinan akan berhasil jika dilakukan sejak dini. 

Strategi menanamkan kedisiplinan:

1. Contohkan! 

Lakukan terlebih dahulu perilaku disiplin yang ingin ditanamkan. Ingat, anak belajar dari meniru, melihat perilaku/tindakan kita. 

2. Jelas

Aturan harus jelas! Katakan secara jelas (kongkrit) perilaku disiplin yang anda harapkan. Usahakan untuk menggunakan kalimat positif. Hindari kalimat negatif dan perintah yang diawali dengan kata “jangan” dan “tidak boleh”! Pastikan anak memahami harapan kita. Berdasar ilmu psikologi, anak sampai dengan usia 7 tahun masih belum dapat memahami kata-kata yang abstrak. Mereka hanya memahami kata-kata yang kongkrit/nyata, jelas, dan yang dapat mereka lihat.

3. Tegas

Disiplin adalah mendidik dengan tegas, bukan dengan kekerasan! Ketika anda menegakkan suatu aturan, maka bersikaplah tegas! Kata Tidak berarti tidak sama sekali! Ketika aturannya masuk akal dan anda yakin bahwa anak mampu melakukannya, maka tidak ada alasan untuk memberinya toleransi. Tegas bukan berarti anda harus bersikap keras. Tegas adalah memberi sanksi yang manusiawi ketika anak melanggar. Pemberian sanksi ini sebaiknya sesuai dengan jenis pelanggarannya. Sanksi juga perlu diberikan secepatnya. Contoh: ketika anak membuang sampah sembarangan, sanksi yang tepat adalah minta anak mengambilnya dan membuangnya ke tempat sampah. 

Menggunakan cara kekerasan adalah menerapkan hukuman, baik secara kata-kata (menyakiti hati) maupun hukuman fisik. Para ahli menyatakan bahwa hukuman mungkin akan bisa membuat anak disiplin, namun dia akan patuh jika hanya ada anda. Ketika tidak ada yang mengawasi, anak akan melanggarnya. Dampak lain, anak justru akan menjadi semakin bandel, kebal atau tidak mempan dengan hukuman yang diberikan. 

4. Konsisten

Untuk membentuk perilaku, dibutuhkan pembiasaan. Begitu juga dalam menanamkan kedisiplinan, butuh diterapkan secara berulang-ulang. Jika suatu aturan tidak ditegakkan secara konsisten, maka hasilnya tentu juga tidak akan konsisten. 


Komunikasi Positif dan Efektif

 


Dalam pendidikan anak, hubungan dan komunikasi antara orangtua dan anak adalah intinya. Di dalam interaksi yang terjadi sehari-hari terjadi proses pembelajaran dan pendidikan. Kunci dari komunikasi positif dan efektif adalah kemampuan orangtua dalam memahami anak. Anak yang merasa dipahami, akan memiliki perasaan positif, bahagia, dan berdampak pada tumbuh kembang yang lebih baik. Sebaliknya, komunikasi negatif akan mempengaruhi jiwa anak ke arah karaker yang negatif pula. 

Untuk memahami anak dengan baik, hal utama yang perlu dibiasakan orangtua adalah mendengarkan anak. Jika anak didengar dan dipahami perasaannya, dia akan merasa nyaman, dianggap penting dan berharga. Sementara, ketika anak tidak didengarkan, dia akan merasa ditolak, kesal, marah, dan berdampak negatif pada rasa percaya dirinya. 

Beberapa Kesalahan Umum dalam Pola Asuh Anak


1. Orangtua terlalu lunak / tidak tegas

a. Menyogok

b. Mengulang-ulang peringatan

c. Mengabaikan dan membiarkan perilaku salah dilakukan oleh anak

d. Memberi kesempatan kedua

e. Berdebat 

f. Memberi aturan yang tidak jelas / kurang kongkrit


2. Pola komunikasi dan interaksi yang negatif

a. Terlalu memerintah

b. Meremehkan, menyepelekan, tidak memberi pujian atas perilaku positif atau hasil karya anak

c. Membandingkan dengan anak lain (saudara atau temannya)

d. Memberi cap/julukan/label negatif

e. Terlalu menasehati/menceramahi

f. Ekspresi penolakan terhadap anak


3. Menggunakan pola kekerasan

a. Marah-marah, membentak, berteriak pada anak, berbicara kasar pada anak

b. Menyakiti emosi/hati anak: menyalahkan, 

mengkritik

c. Mempermalukan anak (terutama di depan umum)

d. Mengancam, menakut-nakuti

e. Melakukan kekerasan fisik (mencubit, memukul, menjambak, dan kekerasan fisik atau bentuk penganiayaan lain)


4. Orangtua yang kurang peduli dan mengabaikan kebutuhan anak

a. Tidak memberikan perhatian yang cukup pada kegiatan yang terkait anak 

b. Tidak peduli terhadap sekolah anak, pendidikannya, teman-temannya

c. Tidak perhatian atau tidak tertarik terhadap aktivitas dan minat anak

d. Kurang memperhatikan kesehatan anak

e. Tidak melibatkan anak ketika membuat rencana keluarga

f.Gagal dalam memberikan rasa aman dan 
perlindungan pada anak
g. Meninggalkan anak dalam waktu yang lama 
h. Tidak memberi kesempatan anak untuk bermain bersama temannya. Tidak mengijinkan anak untuk berinteraksi dengan temannya. Memisahkan anak dari teman-temannya.

Pemanggilan test wawancara bagi peserta yang lolos seleksi administrasi rekrutmen kpps desa randuagung

 Panitia seleksi rekrutmen kpps telah mengeluarkanPengumuman hasil seleksi administrasi rekrutmen calon kpps, dan bagi peserta yang lolos ta...