Home

Pemberian mahar

 Di nusantara ini, prosesi akad nikah kadang lebih kental dengan nuansa budaya dibanding agama. Kebanyakan orang lebih terikat dengan adat istiadat yang telah membudaya daripada dengan ajaran agama. Tentu saja, adat istiadat yang berkaitan dengan pernikahan diperbolehkan selama tidak bertentangan dengan syariat Islam. Walaupun demikian, sejak awal Islam juga mengajarkan kesederhanaan dalam prosesi pernikahan sehingga semua rangkaian prosesi ini tidak menyulitkan atau membebani kedua mempelai. Sebab, dalam pandangan Islam, seluruh rangkaian prosesi tersebut tak lebih dari simbol belaka, sementara substansinya adalah ikatan dan komitmen mereka berdua.

Hal yang sama juga berlaku dengan mahar yang menjadi salah satu rukun akad nikah dalam Islam. Mahar adalah pemberian suka rela yang merupakan simbol dari ketulusan, kejujuran, dan komitmennya dalam menikahi seorang perempuan. 

Pemahaman mahar sebagai simbol cinta kasih ini juga penting karena ada sementara orang yang memahami mahar adalah alat tukar. Dengan demikian, ketika mahar sudah diberikan maka perempuan tersebut menjadi miliknya, dapat dikuasai dan harus mengikuti perintah dan kemauannya. Lebih jauh lagi, dengan pemahaman tersebut, makin besar mahar yang diberikan maka semakin tinggi rasa kepemilikan suami terhadap istrinya. Pemahaman seperti ini bukan hanya menyalahi alasan disyariatkannya mahar tapi juga berpotensi besar mengarah kepada kekerasan dalam rumah tangga dan berbagai efek negatif lain. 

Mengawali dengan khitbah

 Dalam Islam, prosesi pra-nikah dikenal dengan sebutan peminangan (khitbah) yang merupakan penyampaian kehendak seorang pria untuk menikahi seorang perempuan. Pada dasarnya semua perempuan yang bukan termasuk haram untuk dinikahi sah untuk dilamar. Pengecualian terdapat pada perempuan yang masih dalam masa iddah rujuk (raj’i) yang masih masuk dalam kategori haram untuk dilamar, baik melamar secara tegas maupun sindiran. Pelarangan tersebut dikarenakan perempuan tersebut masih terikat dengan suami yang menceraikannya dan dalam kondisi ini sang suami lebih berhak untuk rujuk (kembali) kepadanya dengan syarat mempunyai keinginan untuk perdamaian.

Biasanya proses peminangan melibatkan keluarga laki-laki dan keluarga perempuan. Dalam prosesi ini, diharapkan terjadinya pengenalan dan penyesuaian bagi kedua calon pengantin dan juga keluarga besar kedua belah pihak. Pada tahapan ini, kedua calon pengantin masuk dalam tahapan pra-nikah yang krusial dan akan sangat baik jika dipergunakan untuk mengenal perbedaan masingmasing dalam berbagai hal, mulai dari karakter, budaya, keluarga; termasuk visi tentang pernikahan dan keluarga yang hendak dibangun. Pengenalan yang lebih dalam terhadap sisi psikologi, karakter, keluarga, dan budaya calon pasangan hidup ini akan sangat berguna di masa yang akan datang; terutama meminimalisir konflik yang diakibatkan oleh perbedaan yang ada. 

Penting diperhatikan oleh kedua calon mempelai bahwa tahapan khitbah atau peminangan bukan akad pernikahan. Prosesi ini hanya merupakan pengikat pra-nikah dan karena itu hubungan pernikahan sama sekali belum terjadi. Dengan demikian, maka kedua calon pengantin tidak dihalalkan untuk melakukan hubungan suami istri hingga nanti akad nikah selesai dilaksanakan. Kalau pun ada adat yang membolehkan hubungan suami istri hanya karena telah melakukan lamaran, maka adat tersebut jelas bertentangan dengan syariat Islam dan tidak dibenarkan untuk diikuti. Karena jika diikuti, maka hubungan suami istri pada tahapan ini masuk dalam kategori perzinaan yang merupakan dosa besar dalam Islam.

Hal lain yang patut mendapatkan perhatian adalah perempuan yang telah dilamar dan menerima lamaran dari satu pria tidak diperkenankan untuk menerima lamaran dari pria lain. Pria lain juga tidak diperkenankan untuk mengajukan lamaran kepada perempuan yang sudah menerima lamaran dari pria lain sampai perempuan membatalkan lamaran dari pihak sebelumnya. Pembatalan khitbah atau lamaran dapat dilakukan dan bukan dimasukkan dalam kategori bercerai karena hubungan pernikahan belum terjadi. Akan tetapi hendaknya pembatalan tersebut, jika memang harus terjadi, dilakukan dengan tetap mengindahkan hubungan baik dan dilakukan dengan cara yang baik.


Menikah di usia dewasa

Dahulu, kedewasaan diukur dengan menstruasi bagi perempuan dan mimpi basah bagi laki-laki. Saat ini kita menyadari bahwa kedua kondisi tersebut hanya menunjukkan kematangan biologis untuk urusan reproduksi secara fisik. Kedewasaan tentu saja bukan soal usia semata, tetapi juga soal kematangan bersikap dan berperilaku. Usia dibutuhkan sebagai batasan dan penanda 
kongkrit yang dapat dipergunakan sebagai standar bagi kedewasaan. Hal tersebut dikarenakan pernikahan tidak hanya soal pelampiasan hasrat seksual atau biologis semata. Pernikahan juga mengandung tanggung-jawab sosial yang besar dan mengemban visi sakinah, mawaddah wa rahhmah (mendatangkan ketentraman diri, 
kebahagiaan dan cinta kasih).

Demikian beratnya visi dan tanggungjawab yang dikandung dalam sebuah pernikahan, maka kedewasaan merupakan salah satu 
item yang memberikan pengaruh signifikan dalam kelanggengan rumah tangga di masa mendatang. Demikian pentingnya kedewasaan 
dalam pernikahan, Ibn Syubrumah, Abu Bakr al-Asham, dan Utsman al-Batti (Muhammad, 2007: 94) yang merupakan pakar hukum Islam 
klasik sampai mengeluarkan fatwa keabsahan sebuah pernikahan di bawah umur. Mereka mendasarkan pandangan ini kepada ayat 
Al-Qur’an yang mengaitkan waktu pernikahan seseorang dengan usia kematangan dan kedewasaan (rushd) 

Syarat kedewasaan ini menjadi semakin penting karena studi yang ada menunjukkan bahwa perkawinan yang dilakukan di usia 
dini atau belia memiliki kecenderungan untuk bercerai. Kondisi tersebut terasa logis karena kesiapan mental pasangan yang belia 
belum cukup untuk mengarungi kehidupan rumah tangga di masa sekarang. Pendapat ini pula yang kemudian diadopsi oleh UU Perkawinan No.: 1 Tahun 1974 yang menyatakan batasan usia minimal yang diperbolehkan untuk melakukan pernikahan adalah 21 tahun. Di bawah usia tersebut diperlukan izin orangtua dengan syarat minimal 19 tahun bagi pria dan 16 tahun. 

Persetujuan menikah kedua mempelai

 “Hari gini masih dijodohkan…!!”. Begitu kelakar anak-anak muda sekarang. Mungkin bagi sebagian orang, perjodohan menjadi momok. Tetapi tidak sedikit yang justru hanya bisa menikah lewat perjodohan, baik oleh keluarga, teman dekat, maupun komunitas organisasi. Tidak sedikit pula mereka yang dijodohkan berada dalam perkawinan yang bahagia dan langeng. Karena itu, perjodohan bukanlah pangkal masalah. Yang menjadi pangkal masalahnya adalah pemaksaan yang mungkin terkandung dalam perjodohan tersebut. 

Pemaksaan, baik pada satu pihak atau kepada kedua belah pihak, merupakan awal yang buruk untuk memulai sebuah pernikahan. Karena lazimnya, sesuatu yang diawali dengan paksaan tidak akan berujung kepada kebaikan. Mereka yang dipaksa akan mengalami siksaan batin yang lama dan terus menerus, hidupnya tertekan, sikap dan perilakunya menjadi tidak tulus, dan sangat mungkin menjadi pelaku atau, malah, korban kekerasan dalam rumah tangga. 

Untuk sebuah pernikahan yang kokoh, kedua calon mempelai harus benar-benar memiliki kemauan yang paripurna. Tanpa paksaan siapapun. Dalam bahasa fiqh disebut sebagai kerelaan satu sama lain (taradlin). Untuk situasi kita saat ini, kisah-kisah pemaksaan pernikahan seperti kasus Siti Nurbaya dulu sudah jarang terdengar lagi. Karena, sudah banyak perempuan yang mandiri, berpendidikan tinggi, memiliki penghasilan cukup, dan punya pengalaman sosial yang cukup untuk membuatnya tidak dapat dipaksa oleh keluarga dalam urusan pernikahan. Tetapi teks hadis ini masih sangat relevan untuk menegaskan kemandirian dalam pernikahan yang menyangkut nasib hidupnya ke depan. Hal tersebut dikarenakan tidak sedikit yang masih menganggap bahwa perempuan harus tunduk pada keputusan laki-laki; jika anak perempuan pada ayahnya, dan jika istri pada suaminya. Anggapan ini tentu saja menyalahi kemandirian perempuan sebagai manusia utuh yang terekam pada teks tersebut di atas.

Sedikit banyak urusan kerelaan antara calon pasangan suami istri untuk menikah ini seringkali berbenturan dengan kewenangan yang diberikan oleh Allah kepada wali pihak perempuan. Dalam berbagai kesempatan, yang terjadi adalah sang wali merasa berhak untuk menjodohkan anak gadis yang berada dalam perwaliannya kepada seseorang tanpa harus meminta kerelaan sang anak atau bahkan melakukan pemaksaan. Tentu hal ini bertentangan dengan hadis yang ada di atas. Namun, sebelum membahas kasus tersebut lebih jauh lagi, ada baiknya kita paparkan apa yang dimaksud dengan wali, bagaimana kewenangannya, dan bagaimana hubungannya dengan konsep ijbar dalam perwalian. 

Dari segi bahasa, kata wali yang berasal dari bahasa arab berarti penolong atau pelindung atau penanggung jawab. Salah satu tujuan keberadaannya adalah untuk memastikan kebaikan dan menjauhkan segala keburukan bagi sang perempuan dalam urusan pernikahan ini. Dengan kata lain, keberadaan wali berguna untuk memastikan pihak perempuan memperoleh haknya dan pernikahan tersebut direstui dan diberkati. Sedangkan dalam konteks akad nikah, keberadaan wali dari pihak perempuan merupakan syarat sahnya sebuah pernikahan. Pendapat ini merupakan pendapat mayoritas imam (pakar) fiqh (hukum Islam). Pendapat pertama tadi yang diadopsi oleh UU Perkawinan tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam untuk kemudian menjadi prosedur baku bagi setiap pasangan yang hendak menikah di wilayah Indonesia. Dari paparan tersebut dapat disimpulkan bahwa keberadaan wali dalam pernikahan merupakan pelindung bagi kepentingan dan kebaikan pihak perempuan, memastikan pihak perempuan mendapatkan haknya sebagai pihak yang dilamar serta sebagai “penyaring” kepantasan dan kualitas calon pengantin pria yang hendak melamar. Terlepas dari kewenangan tersebut, wali tidak diperkenankan untuk bertindak di luar batas kemaslahatanperempuan yang berada di bawah perwaliannya. Dalam hal sang perempuan telah memantapkan hatinya untuk menerima seorang pria sebagai calon suaminya, maka sang wali tidak dapat menghalanginya untuk menikah dengan pria tersebut, selama sang pria memenuhi persyaratan syariat seperti sudah dewasa, muslim, dan mampu memberikan nafkah baik lahir maupun batin. 

Keberadaannya sebagai pelindung itu juga membuat seorang wali dapat dicabut otoritasnya jika dia sudah bertindak tidak lagi atas kepentingan dan kebaikan sang perempuan yang berada dalam perwalianya. Seperti, sang wali berlaku kasar dan melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga, menelantarkan keluarganya dengan pergi tanpa tahu rimbanya, atau menolak untuk menikahkan karena alasan di luar syarat yang ditetapkan syariat seperti karena tidak memiliki kekayaan luar biasa atau yang semisal. Dalam kasus seperti ini, perempuan dapat mengajukan perpindahan kewalian kepada pengadilan untuk kemudian, jika terbukti, dipindahkan kepada kerabat lain atau kepada wali hakim. 

Meluruskan niat menikah

 Tiap orang yang ingin menikah mesti memiliki tujuan di balik keputusannya tersebut. Bagi sebagian orang, menikah merupakan sarana untuk menghindari hubungan seksual di luar nikah (perzinaan). Secara tidak langsung mereka yang menikah atas dasar pemikiran seperti ini hendak menyatakan bahwa menikah tak lebih dari persoalan pemuasan kebutuhan biologis semata. Ada pula yang menikah karena alasan finansial seperti mendapatkan kehidupan yang lebih layak, atau mengikuti arus semata. Sebagian lain menikah karena tak dapat menolak desakan keluarga atau terpaksa mengikuti karena berbagai alasan lain. 

Sebagai bagian dari ibadah, pernikahan dalam Islam adalah media pengharapan untuk segala kebaikan dan kemaslahatan. Atas harapan ini, ia sering disebut sebagai ibadah dan sunnah. Untuk itu, pernikahan harus didasarkan pada visi spiritual sekaligus material. Visi inilah yang disebut Nabi Saw sebagai ‘din ’, untuk mengimbangi keinginan rendah pernikahan yang hanya sekedar perbaikan status keluarga (hasab), perolehan harta (mal), atau kepuasan biologis (jamal)

Walaupun redaksi hadis ini berbicara tentang daya tarik perempuan yang hendak dinikahi, akan tetapi karakteristik dan daya tarik tersebut juga dapat diterapkan kepada pria. Dengan demikian, muara dari teks hadis ini adalah soal empat faktor yang menjadi motivasi pernikahan yaitu: harta, status sosial, keinginan biologis, dan din atau agama. Dalam konteks hadis ini, kata din adalah keimanan kepada Allah Swt yang dapat membentuk kepribadian yang stabil dalam segala keadaan. Jiwa yang tangguh, percaya diri, rendah hati, dan sabar. Dalam konteks Din sebagai ibadah ritual sehari-hari mulai dari ibadah wajib semisal salat, zakat, puasa, haji, hingga zikir harian, maka din tersebut menjadi media penguatan kepribadian yang dimaksud. 

Kata Din ini juga bisa diartikan sebagai komitmen moral akan nilai-nilai kebaikan dan kebersamaan dalam berkeluarga. Komitmen ini yang akan menjadi pondasi dalam mengarungi kehidupan keluarga yang mungkin akan menghadapi berbagai gejolak dan masalah di kemudian hari. Jika dikaitkan dengan QS. ArRum/30:21, maka din adalah komitmen dua calon mempelai untuk selalu menghadirkan ketentraman (sakinah) dan menghidupkan cinta kasih dalam berumah tangga (mawaddah wa rahmah). Visi mawaddah wa rahmah (ketentraman batin dan cinta kasih) ini harus menjadi niat yang paling fundamental.

Oleh karena itu, pasangan yang hendak menikah seharusnya kembali memeriksa niat masing-masing, membetulkan dan meluruskan niat agar pernikahan yang dilakukan tidak hanya bersifat pelampiasan kebutuhan biologis semata, tapi juga merupakan ibadah karena Allah SWT. Pasangan yang meluruskan niatnya untuk menikah karena Allah semata diharapkan akan memahami bahwa visi pernikahan yang memberikan ketentraman pada diri dan keluarga serta penuh cinta kasih tersebut, tidak akan dapat dicapai tanpa komitmen bersama menjaga diri dan pasangan untuk berbuat aniaya. Tanpa pemahaman yang benar akan esensi pernikahan dan dilandaskan pada niat yang tulus karena Allah SWT, potensi tindakan aniaya kepada pasangan menjadi semakin besar. 

Misalnya, jika pernikahan tersebut hanya dilandaskan pada keinginan menghalalkan pelampiasan kebutuhan biologis, maka penurunan pemenuhan kebutuhan tersebut dapat mengarah kepada tindakan negatif dan juga merusak. Perselingkuhan dan pernikahan kedua (poligami) tanpa sepengetahuan istri pertama dan dilakukan secara sembunyi menjadi contoh kasus yang kerap diawali oleh hal ini. Tindakan ini bukan hanya menghancurkan hubungan pernikahan yang telah dibina, tapi juga melukai pasangan dan berpotensi merusak kondisi kejiwaan anak di masa yang akan datang. 

Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa hanya dengan meluruskan niat yang dimulai dengan instropeksi ke niat masingmasing, maka sebuah pernikahan dapat menghadirkan kebaikan kepada pasangan yang hendak menikah dan juga menjadi aktivitas yang bernilai ibadah. 

Merencanakan Perkawinan yang Kokoh Menuju Keluarga Sakinah

 Menikah itu tak hanya suka dan gembira, tapi juga harus kokoh dan mulia. Pernikahan dapat disebut sebagai pernikahan yang kokoh apabila ikatan hidup tersebut dapat mengantarkan kedua mempelai pada kebahagian dan cinta kasih. Pernikahan yang kokoh juga merupakan ikatan yang dapat memenuhi kebutuhan keduanya, baik kebutuhan lahiriyah maupun batiniyah, yang dapat melejitkan fungsi keluarga baik spiritual, psikologi, sosial budaya, pendidikan, reproduksi, lingkungan, maupun ekonomi. Keseluruhan fungsi tersebut yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No: 21 tahun 1994 (pasal 4) dirangkum dalam bahasa Al-Qur’an dalam 3 kata kunci sakinah, mawaddah, dan rahmah .

Agar sebuah pernikahan dapat menjadi pernikahan yang kokoh, kedua calon pengantin harus melakukan persiapan yang cermat dan matang. Cermat berarti keduanya memiliki pengatahuan untuk dapat mengantisipasi berbagai hal yang akan timbul dari pernikahan tersebut. Matang dalam arti keduanya bersedia berusaha bersama dalam menumbuhkan semangat, nyaman, rela, dan tanpa paksaan sama sekali dalam memasuki gerbang pernikahan. Dan dalam rangka menumbuhkan kenyamanan tersebut maka kedua belah pihak, harus berusaha semakin mengenal calon pasangan hidupnya, termasuk mengenal keluarga masing-masing.

Dalam Islam, semua proses pra-nikah-mulai dari niat menikah, khitbah, perwalian, mahar, saksi, akad menikah, dan walimah-merupakan pengkondisian agar pernikahan yang terjadi kelak benar-benar menjadi sebuah pernikahan kokoh dan bermuara kepada keluarga yang harmonis dan penuh cinta kasih.

Tingkatan keluarga sakinah

 


Lima tingkatan keluarga sakinah, dengan kriteria sebagai berikut:

1. Keluarga Pra Sakinah: yaitu keluarga-keluarga yang dibentuk bukan melalui ketentuan perkawinan yang sah, tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar spiritual dan material (kebutuhan pokok) secara minimal, seperti keimanan, shalat, zakat fitrah, puasa, sandang, pangan, papan dan kesehatan.

Tolok-ukurnya:

a. Keluarga yang dibentuk melalui perkawinan yang tidak sah

b. Tidak sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku

c. Tidak memiliki dasar keimanan

d. Tidak melakukan shalat wajib

e. Tidak mengeluarkan zakat fitrah

f. Tidak menjalankan puasa wajib

g. Tidak tamat SD, dan tidak dapat baca tulis

h. Termasuk kategori fakir dan atau miskin

i.  Berbuat asusila

j.  Terlibat perkara-perkara kriminal

2. Keluarga Sakinah I : yaitu keluarga-keluarga yang dibangun di atas perkawinan yang sah dan telah dapat memenuhi kebutuhan spiritual dan material secara minimal tetapi masih belum dapat memenuhi kebutuhan sosial psikologisnya, seperti kebutuhan pendidikan, bimbingan keagamaan dan keluarganya, mengikuti interaksi sosial keagamaan dengan lingkungannya.

Tolok-ukurnya:

a. Perkawinan sesuai dengan peraturan syariat dan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974

b. Keluarga memiliki surat nikah atau bukti lain, sebagai bukti perkawinan yang sah

c. Mempunyai perangkat shalat, sebagai bukti melaksanakan shalat wajib dan dasar keimanan

d. Terpenuhi kebutuhan makanan pokok, sebagai tanda bukan tergolong fakir dan miskin

e. Masih sering meninggalkan shalat

f. Jika sakit sering pergi ke dukun

g. Percaya terhadap takhayul

h. Tidak datang di pengajian atau majelis taklim

i.  Rata-rata keluarga tamat atau memiliki ijazah SD

3. Keluarga Sakinah II : yaitu keluarga-keluarga yang dibangun atas perkawinan yang saah dan selain telah dapat memenuhi kebutuhan kehidupannya juga telah mampu memahami pentingnya pelaksanaan ajaran agama serta bimbingan keagamaan dalam keluarga. Keluarga ini juga mampu mengadakan interaksi sosial keagamaan dengan lingkungannya, tetapi belum mampu menghayati serta mengembangkan nilainilai keimanan, ketaqwaan dan akhlakul karimah, infaq, zakat, amal jariyah menabung dan sebagainya.

Tolok-ukur tambahannya:

a. Tidak terjadi perceraian, kecuali sebab kematian atau hal sejenis lainnya yang mengharuskan terjadinya perceraian itu

b. Penghasilan keluarga melebihi kebutuhan pokok, sehingga bisa menabung

c. Rata-rata keluarga memiliki ijazah SLTP

d. Memiliki rumah sendiri meskipun sederhana

e. Keluarga aktif dalam kegiatan kemasyarakatan dan sosial keagamaan

f. Mampu memenuhi standar makanan yang sehat serta memenuhi empat sehat lima sempurna

g. Tidak terlibat perkara kriminal, judi, mabuk, prostitusi dan perbuatan amoral lainnya.

4. Keluarga Sakinah III : yaitu keluarga-keluarga yang dapat memenuhi seluruh kebutuhan keimanan, ketaqwaan, akhlakul karimah sosial psikologis, dan pengembangan keluarganya tetapi belum mampu menjadi suri-tauladan bagi lingkungannya.

Tolok Ukur tambahannya:

a. Aktif dalam upaya meningkatkan kegiatan dan gairah keagamaan di masjid-masjid maupun dalam keluarga

b. Keluarga aktif dalam pengurus kegiatan keagamaan dan sosial kemasyarakata

c. Aktif memberikan dorongan dan motifasi untuk meningkatkan kesehatan ibu dan anak serta kesehatan masyarakat pada umumnya

d. Rata-rata keluarga memiliki ijazah SMA ke atas

e. Mengeluarkan zakat, infaq, shadaqah, dan wakaf senantiasa menigkat

f. Meningkatkan pengeluaran qurban

g. Melaksanakan ibadah haji secara baik dan benar, sesuai tuntunan agama dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku

5. Keluarga Sakinah III Plus : yaitu keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi seluruh kebutuhan keimanan, ketaqwaan dan akhlakul karimah secara sempurna, kebutuhan sosial psikologis, dan pengembangannya serta dapat menjadi suri tauladan bagi lingkungannya.

Tolok-ukur tambahannya:

a. Keluarga yang telah melaksanakan ibadah haji dan dapat memenuhi kriteria haji yang mabrur

b. Menjadi tokoh agama, tokoh masyaraat dan tokoh organisasi yang dicintai oleh masyarakat dan keluarganya

c. Mengeluarkan zakat, infaq, shadaqah, jariyah, wakaf meningkat baik secara kualitatif maupun kuantitatif

d. Meningkatkan kemampuan keluarga dan masyarakat sekelilingnya dalam memenuhi ajaran agama

e. Keluarga mampu mengembangkan ajaran agama

f. Rata-rata anggota keluarga memiliki ijazah sarjana

g. Nilai-nilai keimanan, ketaqwaan dan akhlakul karimah tertanam dalam kehidupan pribadi dan keluarganya

h. Tumbuh berkembang perasaan cinta kasih sayang secara selaras, serasi dan seimbang dalam anggota keluarga dan lingkungannya

i.Mampu menjadi suri tauladan masyarakat sekitarnya

Fungsi keluarga

 Secara sosiologis, fungsi keluarga adalah sebagai berikut:

1. Fungsi Biologis. Keluarga sebagai tempat yang baik untuk melangsungkan keturunan secara sehat dan sah. Salah satu tujuan disunnahkannya pernikahan dalam agama adalah untuk memperbanyak keturunan yang berkualitas. Hal ini tentu saja dibutuhkan prasyarat yang tidak sedikit. Diantaranya adalah kasih sayang orang tua, kesehatan yang terjaga, pendidikan yang memadai, dan lain sebagainya. Di sinilah pentingnya keutuhan keluarga. 

2. Fungsi Edukatif. Keluarga juga berfungsi sebagai tempat untuk melangsungkan pendidikan pada seluruh anggotanya. Orang tua wajib memenuhi hak pendidikan yang harus diperoleh anak-anaknya. Oleh karena itu orang tua harus memikirkan, memfasilitasi, dan memenuhi hak tersebut dengan sebaikbaiknya. Hal itu ditujukan untuk membangun kedewasaan jasmani dan ruhani seluruh anggota keluarga.

3. Fungsi Religius. Keluaga juga menjadi tempat untuk menanamkan nilai-nilai agama paling awal. Orang tua memiliki tanggung jawab untuk memberikan pemahaman, penyadaran dan memberikan contoh dalam keseharian tentang ajaran keagamaan yang mereka anut. Hal ini menjadi bagian penting dalam membentuk kepribadian dan karakter yang baik bagi anggota keluarga.

4. Fungsi Protektif. Keluarga harus menjadi tempat yang dapat melindungi seluruh anggotanya dari seluruh gangguan, baik dari dalam maupun dari luar. Keluarga juga harus menjadi tempat yang aman untuk memproteksi anggotanya dari pengaruh negatif dunia luar yang mengancam kepribadian anggotanya. Misalnya, pengaruh negatif media, pornografi, bahkan juga paham-paham keagamaan yang menyesatkan.

5. Fungsi Sosialisasi. Keluarga juga berfungsi sebagai tempat untuk melakukan sosialisasi nilai-nilai sosial dalam keluarga. Melalui nilai-nilai ini, anak-anak diajarkan untuk memegang teguh norma kehidupan yang sifatnya universal sehingga mereka dapat menjadi anggota masyarakat yang memiliki karakter dan jiwa yang teguh. Selain itu, melalui fungsi ini, keluarga juga dapat menjadi tempat yang efektif untuk mengajarkan anggota keluarga dalam melakukan hubungan sosial dengan sesama. Karena pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, maka mereka membutuhkan hubungan antar sesama secara timbal-balik untuk mencapai tujuan masingmasing. Dengan bersosialisasi pula setiap anggota keluarga dapat mengaktualisasikan dirinya. 

6. Fungsi Rekreatif. Keluarga dapat menjadi tempat untuk memberikan kesejukan dan kenyamanan seluruh anggotanya, menjadi tempat beristirahat yang menyenangkan untuk melepas lelah. Dalam keluarga seseorang dapat belajar untuk saling menghargai, menyayangi, dan mengasihi sehingga tercipta hubungan yang harmonis dan damai. Dengan demikian keluarga itu benar-benar menjadi surga bagi seluruh anggotanya. Sebagaimana hadis Nabi yang menyatakan bahwa “Rumahku adalah Surgaku.”

7. Fungsi Ekonomis. Fungsi ini penting sekali untuk dijalankan dalam keluarga. Kemapanan hidup dibangun di atas pilar ekonomi yang kuat. Untuk memenuhi kebutuhan dasar anggota keluarga, maka dibutuhkan kemapanan ekonomi. Oleh karena itu pemimpin keluarga harus menjalankan fungsi ini dengansebaik-baiknya. Keluarga mesti mempunyai pembagian tugas secara ekonomi. Siapa yang berkewajiban mencari nafkah, serta bagaimana pendistribusiannya secara adil agar masing-masing anggota keluarga dapat mendapatkan haknya secara seimbang.

Dengan demikian, perkawinan bukanlah sekadar menghalalkan percintaan yang mengikat dua buah hati. Tapi lebih dari itu juga memenuhi kebutuhan-kebutuhan pasangan, baik yang sifatnya sosiologis, psikologis, biologis, dan juga ekonomi.

Ciri ciri keluarga sakinah

 Masyarakat Indonesia mempunyai istilah yang beragam terkait dengan keluarga yang ideal. Ada yang menggunakan istilah Keluarga Sakinah, Keluarga Sakinah Mawaddah wa Rahmah (Keluarga Samara), Keluarga Sakinah Mawaddah wa Rahmah dan Berkah, Keluarga Maslahah, Keluarga Sejahtera, dan lainlain. Semua konsep keluarga ideal dengan nama yang berbeda ini sama-sama mensyaratkan terpenuhinya kebutuhan batiniyah dan lahiriyah dengan baik. Berikut ini disajikan tiga pendapat tentang ciri-ciri keluarga yang ideal tersebut.

Pertama, ada yang berpendapat bahwa ciri Keluarga Sakinah 

mencakup hal-hal sebagai berikut: 

1. Berdiri di atas fondasi keimanan yang kokoh,

2. Menunaikan misi ibadah dalam kehidupan,

3. Mentaati ajaran agama,

4. Saling mencintai dan menyayangi,

5. Saling menjaga dan menguatkan dalam kebaikan, 

6. Saling memberikan yang terbaik untuk pasangan,

7. Musyawarah menyelesaikan permasalahan,

8. Membagi peran secara berkeadilan,

9. Kompak mendidik anak-anak,

10. Berkontribusi untuk kebaikan masyarakat, bangsa, dan negara.

Kedua, organisasi Muhammadiyah menggunakan istilah 

Keluarga Sakinah yang dipahami sebagai keluarga yang setiap anggotanya senantiasa mengembangkan kemampuan dasar fitrah kemanusiaannya, dalam rangka menjadikan dirinya sendiri sebagai manusia yang memiliki tanggung jawab atas kesejahteraan sesama manusia dan alam, sehingga anggota keluarga tersebut selalu merasa aman, tentram, damai, dan bahagia. Lima cirinya adalah sebagai berikut:

1. Kekuatan/kekuasaan dan keintiman (power and intimacy). Suami dan istri memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Ini adalah dasar penting untuk kedekatan hubungan. 

2. Kejujuran dan kebebasan berpendapat (honesty and freedom of expression). Setiap anggota keluarga bebas mengeluarkan pendapat, termasuk pendapat yang berbeda-beda. Walaupun berbeda pendapat tetap diperlakukan sama. 

3. Kehangatan, kegembiraan, dan humor (warmth, joy and humor). Ketika kegembiraan dan humor hadir dalam hubungan keluarga, setiap anggota keluarga akan merasakan kenyamanan dalam berinteraksi. Keceriaan dan rasa saling percaya di antara seluruh komponen keluarga merupakan sumber penting kebahagiaan rumah tangga. 

4. Keterampilan organisasi dan negosiasi (organization and negotiating). Mengatur berbagai tugas dan melakukan negosiasi (bermusyawarah) ketika terdapat bermacam-macam perbedaan pandangan mengenai banyak hal untuk dicarikan solusi terbaik. 

5. Sistem nilai (value system) yang menjadi pegangan bersama. Nilai moral keagamaan yang dijadikan sebagai pedoman seluruh komponen keluarga merupakan acuan pokok dalam melihat dan memahami realitas kehidupan serta sebagai rambu-rambu dalam mengambil keputusan.

Ketiga, Nahdlatul Ulama menggunakan istilah Keluarga Maslahah (Mashalihul Usrah), yaitu keluarga yang dalam hubungan suami-istri dan orangtua-anak menerapkan prinsip-prinsip keadilan (i’tidal), keseimbangan (tawazzun), moderat (tawasuth), toleransi (tasamuh) dan amar ma’ruf nahi munkar; berakhlak karimah; sakinah mawaddah wa rahmah; sejahtera lahir batin, serta berperan aktif mengupayakan kemaslahatan lingkungan sosial dan alam sebagai perwujudan Islam rahmatan lil’alamin. Keluarga Maslahah memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 

1. Suami dan istri yang saleh, yakni bisa mendatangkan manfaat dan faedah bagi dirinya, anak-anaknya, dan lingkungannya sehingga darinya tercermin prilaku dan perbuatan yang bisa menjadi teladan (uswatun hasanah) bagi anak-anaknya maupun orang lain,

2. Anak-anaknya baik (abrar), dalam arti berkualitas, berakhlak mulia, sehat ruhani dan jasmani, produktif dan kreatif sehingga pada saatnya dapat hidup mandiri dan tidak menjadi beban orang lain atau masyarakat,

3. Pergaulannya baik. Maksudnya pergaulan anggota keluarga itu terarah, mengenal lingkungan yang baik, dan bertetangga dengan baik tanpa mengorbankan prinsip dan pendirian hidupnya,

4. Berkecukupan rizki (sandang, pangan, dan papan). Artinya tidak harus kaya atau berlimpah harta, yang penting bisa membiayai hidup dan kehidupan keluarganya, dari kebutuhan sandang, pangan, dan papan, biaya pendidikan dan ibadahnya

Apa itu keluarga sakinah, mawaddah, warahmah

 Istilah sakinah, mawaddah, wa rahmah cukup populer di Indonesia. Ia sering muncul dalam kartu undangan perkawinan, dan doa-doa yang dipanjatkan bagi calon mempelai dan pengantin baru. Ketiga istilah ini diambil dari QS. 30:21

   Mari kita lihat lebih dekat makna dari istilah-istilah tersebut.

- Sakinah. Kata sakinah secara sederhana dapat diterjemahkan sebagai kedamaian.Berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an (QS. Al-Baqarah/2:248; QS. At-Taubah/9:26 dan 40; QS.Al-Fath/48: 4, 18, dan 26), sakinah atau kedamaian itu didatangkan Allah ke dalam hati para Nabi dan orang-orang yang beriman agar tabah dan tidak gentar menghadapi rintangan apapun. Jadi berdasarkan arti kata sakinah pada ayat-ayat tersebut, maka sakinah dalam keluarga dapat dipahami sebagai keadaan yang tetap tenang meskipun menghadapi banyak rintangan dan ujian kehidupan. 

- Mawaddah. Quraish Shihab dalam Pengantin Al-Qur’an menjelaskan bahwa kata ini secara sederhana, dari segi bahasa, dapat diterjemahkan sebagai “cinta.” Istilah ini bermakna bahwa orang yang memiliki cinta di hatinya akan lapang dadanya, penuh harapan, dan jiwanya akan selalu berusaha menjauhkan diri dari keinginan buruk atau jahat. Ia akan senantiasa menjaga cinta baik di kala senang maupun susah atau sedih.

- Rahmah. Secara sederhana dapat diterjemahkan sebagai “kasih sayang.” Istilah ini bermakna keadaan jiwa yang dipenuhi dengan kasih sayang. Rasa kasih sayang ini menyebabkan seseorang akan berusaha memberikan kebaikan, kekuatan, dankebahagiaan bagi orang lain dengan cara-cara yang lembut dan penuh kesabaran. 

    Jadi keluarga ideal adalah keluarga yang mampu menjaga kedamaian, dan memiliki cinta dan kasih sayang. Unsur cinta dan kasih sayang harus ada untuk saling melengkapi agar pasangan dapat saling membahagiakan. Kebahagiaan mungkin akan terasa pincang jika hanya memiliki salah satunya. Cinta (mawaddah) adalah perasaan cinta yang melahirkan keinginan untuk membahagiakan dirinya. Ungkapan yang bisa menggambarkanya adalah, “Aku ingin menikahimu karena aku bahagia bersamamu.” Sedangkan kasih sayang (rahmah) adalah perasaan yang melahirkan keinginan untuk membahagiakan orang yang dicintainya. Ungkapan ini menggambarkan rahmah, “Aku ingin menikahimu karena aku ingin membuatmu bahagia.” Pasangan suami-istri memerlukan mawaddah dan rahmah sekaligus, yakni perasaan cinta yang melahirkan keinginan untuk membahagiakan dirinya sendiri sekaligus pasangannya dalam suka maupun duka Tanpa menyatukan keduanya, akan muncul kemungkinan pasangan suami dan istri hanya peduli pada kebahagiaan dirinya masingmasing atau memanfaatkan pasangannya demi kebahagiaannya sendiri tanpa peduli pada kebahagiaan pasangannya. Ringkasnya, mawaddah dan rahmah adalah landasan batiniah atau dasar ruhani bagi terwujudnya keluarga yang damai secara lahir dan batin

Empat pilar perkawinan kokoh

Empat pilar perkawinan yang kokoh sebagai berikut:

1. Perkawinan adalah berpasangan (zawaj). Suami dan istri laksana dua sayap burung yang memungkinkan terbang, salingmelengkapi, saling menopang, dan saling kerjasama. Dalam ungkapan al-Qur’an, suami adalah pakaian bagi istri dan istri adalah pakaian bagi suami (QS. Al-Baqarah/2:187). 

2. Perkawinan adalah ikatan yang kokoh (mitsaqan ghalizhan/ QS. An-Nisa/4:21) sehingga bisa menyangga seluruh sendisendi kehidupan rumah tangga. Kedua pihak diharapkan menjaga ikatan ini dengan segala upaya yang dimiliki. Tidak bisa yang satu menjaga dengan erat sementara yang lainnya melemahkannya. 

3. Perkawinan harus dipelihara melalui sikap dan perilaku saling berbuat baik (mu’asyarah bil ma’ruf/ QS. An-Nisa/4:19). Seorang suami harus selalu berpikir, berupaya, dan melakukan segala yang terbaik untuk istri. Begitupun sang istri berbuat hal yang sama kepada suaminya. 

4. Perkawinan mesti dikelola dengan musyawarah (QS. AlBaqarah/2:23).Musyawarah adalah cara yang sehat untuk berkomunikasi, meminta masukan, menghormati pandangan pasangan, dan mengambil keputusan yang terbaik. 

Empat pilar ini dapat menguatkan ikatan perkawinan dan memperdalam rasa saling memahami dan kasih-sayang. Semua itu akan bermuara pada terwujudnya keluarga yang harmonis. Dengan empat pilar ini, suami dan istri akan senantiasa termotivasi untuk membangun rumah tangga sesuai amanat ilahi. Berusaha manjaga amanat ilahi berarti pula berusaha menjadi orang yang salih di mata Tuhan. Dalam suatu hadis disebutkan bahwa harta terindah bagi seorang suami adalah istri yang salihah (HR. Abu Dawud). Dan tentu saja, bagi seorang istri, harta terindahnya adalah suami yang salih. Hal-hal seperti itulah yang akan membantu terwujudnya keluarga sakinah mawaddah wa rahmah.

Tanggung jawab ilahi dan insani dalam perkawinan

Setiap perbuatan seorang Muslim, termasuk perkawinan, selalu mengandung aspek ibadah jika dilakukan atas dasar keyakinan bahwa Allah mengizinkan, dan aspek muamalah
karena bersinggungan dengan hak orang lain, baik sebagai warga masyarakat, maupun sebagai warga negara. Seperti telah disebut di atas, Allah menyebut perkawinan sebagai janji kuat (mitsaqan ghalizhan). Kata ini hanya digunakan tiga kali dalam al-Qur’an, yaitu janji antara Allah dan para Rasul-Nya (QS. Al-Ahzab/33:7)), janji antara Rasul Musa As dengan umatnya (QS. An-Nisa/4:154) dan janji perkawinan (QS. An-Nisa:21). Fakta 
ini mengisyaratkan bahwa di hadapan Allah, janji suami dan istri dalam perkawinan adalah sekuat perjanjian antara Rasul Musa As 
dengan kaumnya, bahkan sekuat janji yang diambil Allah Swt dari para Rasul. 
    
    Ini berarti perkawinan harus sah secara hukum agama dan dijalankan sesuai tuntunan Allah. Suami dan istri harus mempertanggungjawabkan setiap tindakannya dalam perkawinan, baik yang diketahui oleh orang lain maupun tidak kelak di Hari Perhitungan (Yaumul Hisab). 

   Pengabaian atas tanggungjawab ilahi perkawinan membuat 
suami istri hanya akan menjalankan perkawinan dengan baik hanya jika pasangannya atau orang lain mengetahuinya. Sementara jika tidak ada yang mengetahui, mereka berani melakukan pengkhianatan tanpa rasa takut. Sebaliknya, kesadaran akan adanya tanggungjawab kepada Allah ini menyebabkan suami istri samasama menjaga diri, baik ketika pasangannya ada maupun ketika tidak ada, karena meyakini bahwa Allah selalu menjaga (melihat) mereka. Sikap saling setia antara suami dan istri bukan semata-mata karena pasangannya menghendaki kesetiaan, tetapi terutama karena Allah menghendaki demikian. 
    Dengan memahami landasan tanggung jawab ilahiyah ini, pasangan suami istri diharapkan dapat menghindari perceraian. Dalam sebuah hadis, Rasulullah Saw bersabda: “Hal halal yang paling dibenci oleh Allah adalah perceraian” (HR. Abu Daud dan Hakim). Hadis ini merupakan peringatan keras agar perkawinan 
dijaga kekuatan dan kebaikannya. Kritik ini tidak hanya ditujukan kepada laki-laki dan perempuan yang menikah, tetapi juga kepada 
seluruh pemangku kepentingan yang terkait dengan perkawinan, baik tokoh agama, tokoh masyarakat, maupun pejabat negara terkait
Karena keluarga hidup dalam suatu negara, maka perkawinan juga harus sah secara hukum sebagaimana ditetapkan oleh negara. 
Ini sangat perlu karena keabsahan perkawinan dalam hukum positif negara akan berkaitan dengan hak dan kewajiban seluruh anggota 
keluarga di hampir semua aspek kehidupan. Perkawinan yang hanya sah secara hukum agama namun tak sah menurut hukum negara, 
maka kewajiban masing-masing pihak tak bisa dikontrol negara dan hak-hak mereka dan anak mereka pun tak bisa dilindungi dan dilayani oleh negara. Misalnya jika perkawinan tak dicatatkan dalam dokumen negara, maka perkawinan dan segala implikasinya ini tidak akan muncul dalam dokumen-dokumen negara, seperti akta kelahiran, kartu keluarga, KTP, ijazah, dan lain-lain. 

Status manusia sebagai hamba allah dan khalifah

 Setiap manusia, sebagai mana makhluk lainnya, sejak lahir mempunyai status melekat sebagai hamba allah. Namun demikian, berbeda dengan makhluk lainnya, manusia mempunyai amanah sebagai khalifah yang bertugas memakmurkan bumi. Status dan amanah ini terus melekat dalam diri manusia sehingga perkawinan dan keluarga pun tidak melunturkannya.

Perkawinan bukan hanya demi memenuhi kebutuhan seksual secara halal, namun juga sebagai ikhtiar membangun keluarga yang baik. Keluarga berperan penting dalam kehidupan manusia baik secara personal, masyarakat dan negara. Keluarga adalah wadah untuk meneruskan keturunan dan tempat awal mendidik generasi baru untuk belajar nilai-nilai moral, berpikir, berkeyakinan, berbicara, bersikap, bertaqwa dan berkualitas dalam menjalankan perannya di masyarakat sebagai hamba allah dan khalifah allah. 

Sebuah keluarga harus menjadi tempat berlindung paling aman dari aneka masalah sosial yang berkembang di masyarakat seperti kekerasan, pergaulan bebas, korupsi, narkoba maupun lainnya. Keluarga jangan sampai menjadi tempat yang mengerikan karena menjadi sarang kejahatan, seperti tindak KDRT atau menjadi sumber masalah sosial. Dalam hal memerintahkan kebaikan, keluarga harus mampu memberikan manfaat seluas-luasnya pada masyarakat, baik melalui perilaku, materi, maupun melalui keturunan yang baik atau generasi berkualitas.

Membangun landasan keluarga sakinah

    Islam mengajarkan bahwa berkeluarga adalah salah satu sarana menjaga martabat dan kehormatan manusia. Karena itu, islam menolak praktik-praktik berkeluarga yang menistakan martabat manusia sebagaimana dijalankan oleh masyarakat arab pra-islam.misalnya mengubur bayi perempuan hidup-hidup, menjadikan perempuan sebagai hadiah, jaminan hutang, jamuan tamu.

   Selain menghapus, islam juga membatasi dengan ketat beberapa praktik berkeluarga lainnya. Misalnya membatasi jumlah istri dalam poligami dari tak terbatas menjadi maksimal empat dengan syarat adil dan disertai dorongan kuat dari monogami. Disamping itu, islam juga memunculkan nilai baru untuk memperkuat keluarga. Misalnya, penegasan bahwa perkawinan adalah janji kokoh antara suami dan istri, dan pengaitan ketaqwaan dan keimanan dengan perilaku dalam berkeluarga. Islam juga memberikan hak waris, hak sumpah untuk membatalkan sumpah suami yang menuduhnya berzina tanpa saksi, hal cerai gugat dan masih banyak hal lainnya.

   Sayangnya beberapa sikap dan tindakan tidak manusiawi dalam kehidupan berkeluarga seperti masa jahiliyah ternyata masih dijumpai hingga saat ini. Misalnya perkawinan paksa, poligami yang disertai penelantara keluarga, kekerasan dalam rumah tangga, dll. Sikap dan tindakan semacam itu jelas mengancam sulitnya perkawinan yang kokoh dan keluarga bermartabat dan harmonis untuk terwujud.

   Calon pasangan suami istri perlu memiliki landasan dan bekal pemahaman yang cukup tentang kehidupan keluarga yang baik dan sesuai tuntunan agama. Hal ini meliputi perencanaan yang matang, tujuan yang jelas, dan bekal yang cukup agar perkawinan bisa kokoh dan mampu melahirkan keluarga sakinah.

Membangun harga diri

   Dalam kehidupan manusia. Harga diri mencerminkan nilai diri seseorang sebagai individu, dan dapat mempengaruhi cara seseorang berperilaku, berinteraksi dengan orang lain, dan merespons situasi yang dihadapinya. Dalam filsafat, harga diri dianggap sebagai konsep yang kompleks, yang melibatkan berbagai aspek, seperti moralitas, keberadaan, dan kebebasan.

    harga diri dianggap sebagai hasil dari keputusan-keputusan yang dibuat oleh manusia dalam hidupnya. Dalam konteks ini, kebebasan untuk memilih dan bertindak merupakan aspek penting dalam membangun harga diri.

   Namun, ada juga pandangan yang menganggap bahwa harga diri terletak pada penghargaan terhadap keunikan dan keindahan manusia sebagai individu yang unik. Dalam pandangan ini, harga diri dianggap sebagai hasil dari pemahaman tentang siapa diri kita sebenarnya dan bagaimana kita dapat menghargai diri kita sendiri sebagai individu yang unik dan berharga.

   Di sisi lain, ada juga pandangan yang menyatakan bahwa harga diri terletak pada kemampuan manusia untuk menerima diri sendiri apa adanya, termasuk kekurangan dan kelemahan yang dimiliki. Dalam konteks ini, harga diri dianggap sebagai bentuk penghargaan diri yang mampu mendorong manusia untuk tumbuh dan berkembang dalam kehidupannya

   kesimpulannya, harga diri merupakan konsep yang penting dalam kehidupan manusia. Melalui pemahaman tentang nilai diri, moralitas, keberadaan, dan kebebasan, kita dapat membangun harga diri yang kuat dan positif. Sebagai individu yang unik dan berharga, kita memiliki potensi untuk tumbuh dan berkembang, serta memperoleh penghargaan dari orang lain dan masyarakat di sekitar kita.

Tantangan pendidikan kita

   Seiring perkembangan jaman yang sangat pesat peserta didik bergerak dan berfikir dalam pola milenial yang sangat cepat menguasai teknologi digital.Hal lain yang mesti menjadi perhatian adalah ketika kecepatan kemampuan anak-anak milenial dan generasi Z menguasai teknologi digital, tanpa dibekali dengan keimanan dan akhlak mulia, menyebabkan anak-anak banyak terjebak pada hal-hal yang disebut dekadensi moral.
   Dengan bergantinya sistem kurikulum yang digulirkan pemerintah dalam kurun waktu yang cepat, memberi tantangan tersendiri bagi pendidik untuk cepat pula beradaptasi dan mengembangkan kompetensinya agar dapat menerapkan kurikulum sesuai harapan. 
   Menurut Undang-undang nomor 20 tahun 2003, tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
   Pendidikan dapat diartikan merupakan proses menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat.
   Perkembangan peserta didik yang tidak terkontrol dengan baik dan bijak, akan melahirkan anak generasi milenial dan generasi Z yang bermoral rendah.Hal ini tentunya didasari oleh berkembangnya kemajuan zaman dan kebutuhan masyarakat dengan tujuan agar sistem pendidikan di Indonesia lebih baik sesuai yang dicita-citakan.Perilaku manakah yang lebih kuat muncul akan tergantung pada dimana lingkungannya tempat ia hidup.  Maka sebagai dasar utamanya adalah pendidikan keluarga dan lingkungan tempat hidupnya.Guru yang efektif memiliki keunggulan dalam mengajar, dalam hubungan (relasi dan komunikasi) dengan peserta didik dan anggota komunitas sekolah, dan juga relasi dan komunikasinya dengan pihak lain (orang tua, komite sekolah, pihak terkait), segi administrasi sebagai guru, dan sikap profesionalitasnya.
   Sudah saatnya pendidik melakukan aksi nyata untuk bergerak dan terus belajar agar dapat memberikan tuntunan yang diharapkan dalam membangun diri manusia untuk lebih manusiawi.
Pada prinsipnya sama dengan apa yang telah diungkapkan Ki Hajar Dewantara dalam pemikirannya tentang pendidikan.Apabila si anak hidup dalam keluarga dan lingkungannya yang baik maka akan sangat berpengaruh kuat si anak menjadi baik.Jika melihat tujuan di atas, maka dapat dilihat yang paling diutamakan adalah pengembangan karakter dan potensi diri pada anak didik.
   Untuk itulah maka dalam pendidikan dibutuhkan sistem yang baik melalui sistem yang namanya kurikulum pendidikan.Disinilah pentingnya mengembalikan fungsi pendidikan yang hakiki yang sebenarnya untuk membangun manusia dengan watak dan kepribadian yang utuh sebagai pribadi dan sebagai masyarakat.Pendidik harus melek teknologi tetapi tetap diimbangi pula dengan penanaman karakter dan pribadi yang baik bagi anak-anak.
   Hal lain yang menjadi tantangan pendidik adalah berkembangnya teknologi yang begitu cepat dalam era digital dan milenial seperti saat ini.Sehingga, pengetahuan anak didik bisa lebih luas, apalagi ketika semangat dan kemauan belajar para guru yang lahir di generasi X
   Menurut Tabrani Yunis ( pendidikan.id : 2018) generasi Z yang kita kenal sebagai orang-orang yang lahir di generasi internet, generasi yang sudah menikmati keajaiban teknologi usai kelahiran internet.Demikian pula sebaliknya apabila ia hidup di keluarga dan lingkungan yang tidak baik meskipun fitrahnya baik, bisa saja akan merubah dan membawa pengaruh menjadi tidak baik.Namun demikian keduanya tetap memerlukan tuntunan dengan tujuan yang sama agar terlepas dari pengaruh yang tidak baik.Bagaimana dengan lembaga pendidikan kita yang masih dominan dari generasi Y dan X.
   Pada prinsipnya pembelajaran tidak harus membeda-bedakan, namun tentunya ada sebuah pemetaan awal yang bisa dilakukan dengan diagnosis awal pembelajaran.Maka penting pula membangun suatu etos kerja yang positif yaitu menjunjung tinggi pekerjaan, menjaga harga diri dalam melaksanakan pekerjaan, dan keinginan untuk melayani masyarakat.Mana saja yang perlu diperhatikan lebih mendalam dalam proses pembelajarannya baik kompetensi pengetahuan dan keterampilannya, juga mengenai sikap dan perilaku dasarnya.Kita tidak bisa menutup mata terhadap perkembangan zaman dengan perubahan teknologi yang begitu pusat.
   Maka dari itu pemerintah cukup memberikan sokongan anggaran yang begitu besar bagi proses pendidikan di negara kita.

Filosofi Semut


    Manusia adalah makhluk yang paling sempurna dibandingkan makhluk yang lainnya, namun terkadang manusia perlu belajar dari hewan. Adakalanya dalam menjalankan hidup kita dapat mencontoh dari hal yang kecil. Sekalipun itu hal kecil jika sangat berguna bagi kehidupan kita kenapa tidak. Rasanya hal kecil tersebut bisa menjadi sebuah inspirasi bagi kita dalam menjalankan kehidupan. Seiring dengan perkembangan jaman yang sangat pesat ini yang makin tergerus yang kian tidak menentu. Maka dari itu terkadang kita sebagai umat manusia terkadang masih sering  mengabaikan nilai luhur dalam kehidupan bermasyarakat yang di anjurkan oleh Nabi Muhammad SAW, kejujuran, kedermawanan, saling menghargai, tolong menolong, toleransi, menjaga tali persaudaraan dll. 

    Maka sebagai seorang yang menganut ajaran Nabi Muhammad SAW, harus selalu berusaha mencari cara agar  senantiasa dapat menjaga nilai nilai luhur tersebut, kita bisa belajar dari filosofi semut yang banyak keistimewaannya  dan patut dicontoh oleh manusia. Walaupun kecil, tapi mempunyai kekuatan untuk membuat orang dan hewan lainnya merasa kesakitan akan gigitannya, apalagi digigit secara rame rame oleh mereka. Berharap seperti itu itu jika ada manusia yang menginjak-injak harkat dan martabat kita, maka kita harus dapat membela diri seperti apa yang dilakukan semut saat diserang.

    Selalu bersama sama dan saling membantu pada saat melakukan sesuatu, semut selalu bergotong royong membawa sesuatu, kita juga sebagai umat manusia harus bisa saling membantu satu sama lainnya terutama dengan saudara dan tetangga, teman dan saudara kita. Semut sendiri terdiri dari bermacam warna dan jenis tetapi semut tidak pernah bertengkar ataupun tawuran. Hal ini yang harus dicontoh oleh kita sebagai umat manusia kita tidak boleh membeda bedakan antara satu sama lainnya. Semut setiap bertemu dengan semut lainnya maka mereka akan berhenti berjalan, kemudian bersalaman atau mungkin berbicara. Begitu juga dengan kita, harus saling bersalaman dalam arti kita harus saling berhubungan baik antar sesama manusia tanpa melihat sebuah perbedaan.

    Memang filosofi tersebut sangat sederhana, namun jika kita dapat menerapkannya maka kita akan dapat banyak pelajaran dari filosofi tersebut.

    Semut merupakan salah satu jenis seragga yang namanya menjadi salah satu nama surah dalam Al Qur'an, yaitu surah An-Naml. Menurut ilmuwan, mereka sudah bertahan selama 6 juta tahun karena mereka di beri karunia oleh Allah Swt untuk beradaptasi dimanapun mereka berada.

    Bagi orang orang yang berfikir, makhluk sekecil apapun mempunyai makna atas penciptany.  dan bagi orang orang yang beriman, tentu sebagai bukti agar kita selalu bersyukur bahwasannya ada makna atas penciptaan makhluknya. Ternyata ada filosofi yang terkandung dari cara hidup semut ini. Semut yang dianggap hewan yang mengganggu keberadaan manusia juga memiliki nilai yang tidak kalah penting untuk diteladani dalam memenuhi kehidupannya. Karakter keseharian semut yang ditunjukkan  perlu kita ambil sisi positifnya untuk melangkah dalam dunia nyata dan keseharian kita dalam menjalani kehidupan.

Pernikahan usia dini

 Masalah fenomena sosial perkawinan usia dini di Indonesia merupakan suatu fenomena yang banyak terjadi di berbagai wilayah di indonesia, baik di kota maupun di desa.

Hal ini menunjukkan kesederhanaan pola pikir masyarakat sehingga fenomena pernikahan usia dini masih sering terjadi di berbagai wilayah indonesi baik yang di kota-kota besar maupun di ko kecil dan desa tanah air. Fenomena perkawinan dini akan berdampak pada kebiasaan kehidupan keluarga dan kualitas sumberdaya manusia Indonesia. Usia perkawinan dini berbanding lurus dengan tingginya angka perceraian karena pasangan suami istri yang masih dini belum siap untuk membangun suatu kehidupan berumah tangga. Secara psikilogis mereka masih belum bisa berfikir penuh, bahkan mereka cendrung labil dan emosional ketika terjadi permasalahan dan perselisihan di dalam rumah tangga yang bisa berujung pada titik perceraian. Selain banyaknya terjadi kasus perceraian, kematian bayi dan ibu dalam kasus perkawinan muda adalah salah satu kasus tertinggi di Indonesia. Maka dari itu fenomena sosial usia perkawinan muda kembali diperbincangkan oleh berbagai pakar dan tokoh
masyarakat. Mereka mencoba meninjau kembali dan menghasilkan sebuah pernyataan bahwa wanita diperbolehkan kawin pada usia 16 tahun dan laki-laki usia 18tahun. Oleh karena itu Tulisan ini dibuat agar dapat menambah wawasan dan menjelaskan bagaimana usia perkawinan dini dalam perspektif hukum positif Negara dan hukum Islam. Ada perbedaan antara hukum agama dan
negara dalam melihat usia perkawinan dini yang masih terjadi di tanah air.

Fondasi keluarga sakinah


    Perselisihan dan perceraian merupakan salah satu faktor yang paling berpengaruh terhadap menurunnya kualitas generasi muda di masa yang akan datang. Suasana keluarga yang tidak harmonis yang timbul karena perselisihan rumah tangga tentu akan sangat mengganggu kondisi psikologis seluruh anggota keluarga. Situasi tersebut akan cenderung memburuk karena perselisihan dan perceraian sering diiringi dengan kekerasan fisik maupun psikis, kekerasan dalam rumah tangga ini berpotensi menjadi sumber permasalahan sosial dikemudian hari.

   Berdasarkan pengamatan di atas maka sangat dibutuhkan bimbingan kesiapan calon pengantin dengan keberhasilan membangun rumah tangga sakinah, mawaddah dan rahmah.kesiapan calon pengantin sangat menjadi faktor utama yang akan menentukan sebuah rumah tangga sukses menggapai tujuan mulianya. Oleh karena itu diharapkan bagi calon pengantin agar dapatnya dapat mengikuti bimbingan pembelajaran tentang pemahaman dan pengetahuan dalam mengelola rumah tangga.

   Dengan adanya bimbingan terkait hal tersebut diharapkan dapat memperkecil angka perceraian yang terus meningkat hampir diseluruh wilayah indonesia.

Merefresh pengetahuan teknologi informasi dan komunikasi

 Pada jaman dulu orang menggunakan kaleng yang di hubungkan dengan benang untuk berkomunikasi dengan tetangga mereka. Sekarang dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Sudah banyak alat yang dapat digunakan untuk berkomunikasi jarak jauh.

Tahukah kalian, saat ini alat apa aja yang dapat kalian gunakan untuk komunikasi jarak jauh saat ini?? Coba sebutkan, minimal 6 alat.

#jawab di kolom komentar ya gaes๐Ÿ‘Œ๐Ÿ‘Œ

Kunci kehidupan

 _*Tahajjud Call☆*_


_"Dunia ini ibarat bayangan._ 

_Kalau kau berusaha menangkapnya, ia akan lari._ 

_Tapi kalau kau membelakanginya, ia tak punya pilihan selain mengikutimu"._


_*"Kejarlah Akhiratmu, maka Dunia akan mengikuti"*_

Pemanggilan test wawancara bagi peserta yang lolos seleksi administrasi rekrutmen kpps desa randuagung

 Panitia seleksi rekrutmen kpps telah mengeluarkanPengumuman hasil seleksi administrasi rekrutmen calon kpps, dan bagi peserta yang lolos ta...